TEKNIK REPORTASE PERTEMUAN 3-4
Note
Pada pertemuan 5 akan diadakan pengerjaan TUGAS 1, yang pengumpulan tugasnya dapat dilakukan di prodi atau melalui email ibu di rosanwar073@gmail.com
REPORTASE
Reportase
adalah kegiatan meliput, mengumpulkan fakta-fakta tentang berbagai
unsur berita, dari berbagai sumber/ narasumber dan kemudian
menuliskannya dalam bentuk berita (produk) jadi.
Reportase
adalah kegiatan jurnalistik dalam meliput langsung peristiwa atau
kejadian di lapangan. Wartawan mendatangi langsung tempat kejadian atau
TKP (Tempat Kejadian Perkara) lalu mengumpilkan fakta dan data seputar peristiwa tersebut.
Dalam meliput peristiwa, penting diperhatikan:
1. Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
2. Fairness Doctrine (Doktrin kejujuran) yang mengajarkan, mendapatkan berita yang benar lebih penting daripada menjadi wartwan pertama yang menyiarkan atau menuliskannya.
3. Cover both side / news balance, yakni perlakuan adil terhadap semua pihak yang menjadi objek berita, dengan meliput semua atau kedua belah pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa.
4. Cek dan ricek, yakni meneliti kebenaran sebuah fakta atau data beberapa kali sebelum menuliskannya.
Tahapan-tahapan reportase
1.
Reportase dasar adalah peliputan berita tahap dasar atau awal. Berita
yang dihasilkan dari reportase dasar ini adalah straight news atau
berita lugas. ciri berita jenis ini adalah singkat/pendek (2-6 alinea),
padat, langsung kepada inti masalahnya, unsure 5W+1H.
2. Reportase madya adalah reportase yang lebih luas daripada sekadar berita lugas. reportase media menghasilkan berita-kisah (news feature).
3.
Reportase lanjutan/mendalam, reportase lanjutan menghasilkan berita
analisis (news analysis). Contohnya depth reporting/investigative
reporting.
Teknik
reportase atau teknik peliputan berita merupakan hal mendasar yang
perlu dikuasai para jurnalis. Namun, membahas teknik reportase, berarti
juga membahas bagaimana cara media bekerja, sebelum mereka memutuskan
untuk meliput suatu acara, kegiatan atau peristiwa.
Setiap
media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu,
mereka juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy).
Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh
berbeda antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan
redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau
ideologi yang dianutnya.
Perbedaan
visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau
angle peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang
yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang sama. Bandingkan, misalnya,
cara pandang redaktur harian Kompas dan Republika terhadap RUU Anti
Pornografi dan Pornoaksi, yang telah memancing kontroversi sengit di
sejumlah kalangan belum lama ini.
Terakhir,
tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda.
Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut
secara tak langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang
layak dan tidak layak diliput. Trans TV, misalnya, memilih khalayak dari
kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas. Majalah Feminamembidik
pasar kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang tinggal atau
bekerja di perkotaan. Sedangkan Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum
muda di Jakarta.
Kelayakan Berita
Berikut ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media:
Penting. Suatu
peristiwa diliput jika dianggap punya arti penting bagi mayoritas
khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Tentu saja, media tidak akan
rela memberikan spaceatau
durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga bahan bakar
minyak, pemberlakuan undang-undang perpajakan yang baru, kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya, jelas penting karena punya
dampak langsung pada kehidupan khalayak.
Aktual. Suatu
peristiwa dianggap layak diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan
tentang berita "hangat," artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan
pembicaraan di masyarakat. Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi,
tentu tak bisa disebut berita "hangat," tetapi lebih pas disebut berita
"basi." Namun, pengertian "baru terjadi" di sini bisa berbeda,
tergantung jenis medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang
terjadi minggu lalu masih bisa dikemas dan dimuat. Untuk suratkabar
harian, istilah "baru" berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan
televisi, berkat kemajuan teknologi telekomunikasi, makna "baru" adalah
beberapa jam sebelumnya atau "seketika" (real time). Contohnya, siaran langsung pertandingan sepakbola Piala Dunia.
Unik. Suatu
peristiwa diliput karena punya unsur keunikan, kekhasan, atau tidak
biasa. Orang digigit anjing, itu biasa. Tetapi, orang mengigit anjing,
itu unik dan luar biasa. Contoh lain: Seorang mahasiswa yang berangkat
kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan biasa. Tetapi, jika seorang
mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak pernah
diluluskan, itu unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada
peristiwa yang unik dan tidak biasa.
Asas Kedekatan (proximity). Suatu
peristiwa yang terjadi dekat dengan kita (khalayak media), lebih layak
diliput ketimbang peristiwa yang terjadi jauh dari kita. Kebakaran yang
menimpa sebuah pasar swalayan di Jakarta tentu lebih perlu diberitakan
ketimbang peristiwa yang sama tetapi terjadi di Ghana, Afrika. Perlu
dijelaskan di sini bahwa "kedekatan" itu tidak harus berarti kedekatan
fisik atau kedekatan geografis. Ada juga kedekatan yang bersifat
emosional. Agresi Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan
Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh dari kita, tetapi secara
emosional tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia.
Asas Keterkenalan (prominence). Nama
terkenal bisa menjadikan berita. Sejumlah media pada Juni-Juli 2006 ini
ramai memberitakan kasus perceraian artis Tamara Bleszynski dan
suaminya Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak asuh atas anak antara
keduanya. Padahal di Indonesia ada ratusan atau bahkan ribuan pasangan
lain, yang bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga. Namun, mengapa
mereka tidak diliput? Ya, karena sebagai bintang sinetron dan bintang
iklan sabun Lux, Tamara adalah figur selebritas terkenal.
Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin mengingatkan Anda pada gempa bumi. Benar. Magnitude ini
berarti "kekuatan" dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan 6,9 skala
Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa
berkekuatan 3,1 skala Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput,
sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan 10.000 buruh, tentu lebih besarmagnitude-nya
ketimbang demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh. Kecelakaan kereta
api yang menewaskan 200 orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada
serempetan antara becak dan angkot, yang hanya membuat penumpang becak
menderita lecet-lecet. Semakin besar magnitude-nya, semakin layak peristiwa itu diliput.
Human Interest. Suatu
peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput. Mungkin
sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain.
Apalagi yang melibatkan drama, seperti: penderitaan, kesedihan,
kebahagiaan, harapan, perjuangan, dan lain-lain. Topik-topik kemanusiaan
semacam ini biasanya disajikan dalam bentuk feature.
Unsur konflik. Konflik,
seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antar-manusia,
juga menarik untuk diliput. Ketika ppahlawan sepakbola Perancis,
Zinedine Zidane, "menanduk" pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam
pertandingan final Piala Dunia, Juli 2006 lalu, ini menarik diliput.
Mengapa? Ya, karena sangat menonjol unsur konflik dan kontroversinya.
Bahkan, kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada pertandingan
antara kesebelasan Perancis dan Italia itu sendiri.
Trend. Sesuatu
yang sedang menjadi trend atau menggejala di kalangan masyarakat, patut
mendapat perhatian untuk diliput media. Pengertian trend adalah sesuatu
yang diikuti oleh orang banyak, bukan satu-dua orang saja. Misalnya,
suatu gaya mode tertentu yang unik, perilaku kekerasan antar warga
masyarakat yang sering terjadi, tawuran antarpelajar, dan sebagainya.
WAWANCARA
Wawancara
merupakan bentuk reportase dengan cara mengumpulkan data berupa
pendapat, pandangan, dan pengamatan seseorang tentang suatu peristiwa.
Dalam
melakukan reportase, reporter harus pintar memilah-milah narasumber
yang nantinya akan melengkapi bahan penulisan berita. Narasumber dapat
dipilah menjadi narasumber primer dan narasumber sekunder. Narasumber
primer merupakan narasumber yang memegang peran penting dalam sebuah
peristiwa. Narasumber Sekunder berfungsi untuk melengkapi dan mendukung
penulisan berita.
Ketika melakukan wawancara, ada tiga hal yang tidak boleh dilupakan oleh reporter:
a. Identitas dan atribut narasumber
b. Pendapat narasumber terhadap peristiwa
c. Kesan narasumber terhadap peristiwa
Beberapa persiapan yang dilakukan reporter agar wawancara berjalan lancar dan efektif, antara lain:
a.
Menguasai tema yang akan ditanyakan kepada narasumber. Jika pengetahuan
reporter tentang tema sedikit, maka akan timbul banyak kesulitan saat
melakukan wawancara.
b. Siapkan TOR (Term of Reference). Ini penting agar tidak ada permasalahan yang luput ditanyakan kepada narasumber.
c.
Membawa alat perekam. Selain berfungsi untuk memudahkan reporter
menulis hasil wawancara, alat perekam juga dapat berfungsi sebagai bukti
jika sewaktu-waktu narasumber mengelak dan protes terhadap berita yang
ditulis.
d.
Menghargai narasumber dan membuat janji. Membuat janji dengan
narasumber itu penting. Karena ada beberapa narasumber yang enggan
melakukan wawancara langsung tanpa membuat janji. Ingat, menjaga
hubungan baik dengan narasumber itu sangat penting untuk kemudian hari.
Banyak narasumber yang kecewa dan enggan bertemu repoter tertentu.
Wawancara
sangat penting dalam dunia jurnalistik. Wawancara merupakan proses
pencarian data berupa pendapat/pandangan/pengamatan seseorang yang akan
digunakan sebagai salah satu bahan penulisan karya jurnalistik.
Wawancara vs reportase
Apakah wawancara sama dengan reportase? Jawabnya adalah tidak.
Reportase memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari wawancara, sedangkan wawancara adalah salah satu teknik reportase.
Jenis Wawancara
1.
Man in the street interview. Untuk mengetahui pendapat umum masyarakat terhadap isu/persoalan yang akan diangkat jadi bahan berita.
2.
Casual interview. Wawancara mendadak. Jenis wawancara yang dilakukan tanpa persiapan/perencanaan sebelumnya.
3.
Personality interview. Wawancara
terhadap figure-figur public terkenal. Atau orang yang memiliki
kebiasaan/prestasi/sifat unik, yang menarik untuk diangkat sebagai bahan
berita.
4.
News interview. Wawancara untuk memperoleh informasi dari sumber yang mempunyai kredibilitas atau reputasi di bidangnya.
Wawancara yang Baik
Agar tugas wawancara kita dapat berhasil, maka hendaknya diperhatikan hal-hal - antara lain - sebagai berikut:
1.
Lakukanlah
persiapan sebelum melakukan wawancara. Persiapan tersebut menyangkut
outline wawancara, penguasaan materi wawancara, pengenalan mengenai
sifat/karakter/kebiasaan orang yang hendak kita wawancarai, dan
sebagainya.
2.
Taatilah
peraturan dan norma-norma yang berlaku di tempat pelaksanaan wawancara
tersebut. Sopan santun, jenis pakaian yang dikenakan, pengenalan
terhadap norma/etika setempat, adalah hal-hal yang juga perlu
diperhatikan agar kita dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat
pelaksanaan wawancara.
3.
Jangan
mendebat nara sumber. Tugas seorang pewawancara adalah mencari
informasi sebanyak-banyaknya dari nara sumber, bukan berdiskusi. Jika
Anda tidak setuju dengan pendapatnya, biarkan saja. Jangan didebat.
Kalaupun harus didebat, sampaikan dengan nada bertanya, alias jangan terkesan membantah.
Contoh yang baik: "Tetapi apakah hal seperti itu tidak berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak?"
Contoh yang lebih baik lagi: "Tetapi menurut Tuan X, hal seperti itu kan berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri. Bagaimana pendapat Bapak?"
Contoh yang tidak baik: "Tetapi hal itu kan dapat berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak."
4.
Hindarilah
menanyakan sesuatu yang bersifat umum, dan biasakanlah menanyakan
hal-hal yang khusus. Hal ini akan sangat membantu untuk memfokuskan
jawaban nara sumber.
5.
Ungkapkanlah
pertanyaan dengan kalimat yang sesingkat mungkin dan to the point.
Selain untuk menghemat waktu, hal ini juga bertujuan agar nara sumber
tidak kebingungan mencerna ucapan si pewawancara.
6.
Hindari
pengajuan dua pertanyaan dalam satu kali bertanya. Hal ini dapat
merugikan kita sendiri, karena nara sumber biasanya cenderung untuk
menjawab hanya pertanyaan terakhir yang didengarnya.
7.
Pewawancara
hendaknya pintar menyesuaikan diri terhadap berbagai karakter nara
sumber. Untuk nara sumber yang pendiam, pewawancara hendaknya dapat
melontarkan ungkapan-ungkapan pemancing yang membuat si nara sumber
"buka mulut". Sedangkan untuk nara sumber yang doyan ngomong,
pewawancara hendaknya bisa mengarahkan pembicaraan agar nara sumber
hanya bicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi wawancara.
8.
Pewawancara
juga hendaknya bisa menjalin hubungan personal dengan nara sumber,
dengan cara memanfaatkan waktu luang yang tersedia sebelum dan sesudah
wawancara. Kedua belah pihak dapat ngobrol mengenai hal-hal yang
bersifat pribadi, atau hal- hal lain yang berguna untuk mengakrabkan
diri. Ini akan sangat membantu proses wawancara itu sendiri, dan juga
untuk hubungan baik dengan nara sumber di waktu-waktu yang akan datang.
9.
Jika
kita mewawancarai seorang tokoh yang memiliki lawan ataupun musuh
tertentu, bersikaplah seolah-olah kita memihaknya, walaupun sebenarnya
tidak demikian. Seperti kata pepatah, "Jangan bicara tentang kucing di
depan seorang pecinta anjing".
10.
Bagi
seorang reporter pers yang belum ternama, seperti pers kampus dan
sebagainya, kendala terbesar dalam proses wawancara biasanya bukan
wawancaranya itu sendiri, melainkan proses untuk menemui nara sumber.
Agar kita dapat menemui nara sumber tertentu dengan sukses, diperlukan
perjuangan dan kiat-kiat yang kreatif dan tanpa menyerah. Salah satu
caranya adalah rajin bertanya kepada orang-orang yang dekat dengan nara
sumber. Koreklah informasi sebanyak mungkin mengenai nara sumber
tersebut, misalnya nomor teleponnya, alamat villanya, jam berapa saja
dia ada di rumah dan di kantor, di mana dia bermain golf, dan
sebagainya.
Media Cetak VS Media Elektronik
Bagaimana
cara memperoleh/mengumpulkan berita? Caranya adalah melalui reportase,
yang bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data yang berhubungan
dengan karya jurnalistik yang akan dibuat. Pihak yang menjadi objek
reportase disebut nara sumber. Nara sumber ini bisa berupa manusia,
makhluk hidup selain manusia, alam, ataupun benda-benda mati. Jika nara
sumbernya berupa manusia, maka reportase tersebut bernama wawancara.
Dengan
demikian, ada sedikit perbedaan antara reportase dengan wawancara.
Wawancara merupakan bagian dari reportase, dan reportase tidak hanya
dapat dilakukan terhadap manusia.
Namun
perlu diingat bahwa wawancara untuk media cetak berbeda dengan
wawancara untuk media elektronik. Wawancara untuk media elektronik
biasanya dikemas semenarik mungkin. Sebelum wawancara berlangsung,
seringkali dilakukan briefing antara pewawancara dan nara sumber, yang
bertujuan untuk menjaga kelancaran wawancara. Hal ini dilakukan karena
wawancara untuk media elektronik merupa kan "produk" tersendiri yang
"dijual" kepada pemirsa/pendengar.
Sedangkan
dalam media cetak, yang terpenting bagi pembaca adalah tulisan yang
dibuat berdasarkan hasil reportase, sehingga proses wawancara tidaklah
penting bagi mereka. Karena itu, wawancara untuk media cetak dapat
berlangsung tanpa kemasan yang menarik ataupun briefing antara wartawan
dengan nara sumber. Satu-satunya persiapan yang perlu dilakukan adalah
persiapan wartawan itu sendiri, yang mencakup bahan wawancara dan
pengetahuan umum mengenai materi wawancara. Sedangkan proses
wawancaranya dapat berlangsung dalam berbagai situasi dan tempat. Bisa
di kantor, di restoran sambil makan siang, lewat telepon, sambil
berjalan menuju halaman parkir, sambil ngobrol, dan sebagainya.