rintangan komunikasi antar budaya dalam perkawinan dan perceraian etnis jawa dengan papua di kota jayapura (suatu strategi manajemen konflik DALAM HUBUNGAN interpersonal pasangan suami istri)
The Intercultural
Communication Barriers of Marriage and Divorce Between Java and Papua Ethnics
in The City of Jayapura
(Conflict Management Strategy in Husband
and Wife Interpersonal Relationship)
Rostini Anwar, Hafied Cangara, Jeanny
Maria F
Program Studi Ilmu KomunikasiPascasarjana Universitas
Hasanuddin
ABSTRAK
Penelitian bertujuan (1) mengidentifikasi rintangan
komunikasi antar budaya pasangan etnis Jawa dengan Papua yang masih dalam
ikatan perkawinan maupun dari pasangan yang telah bercerai, (2) menganalisa
strategi manajemen konflik dalam hubungan interpersonal pasangan etnis Jawa
dengan Papua dalam menyikapi konflik yang ada. Penelitian menggunakan
pendekatan interpretatif dengan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh
dengan melakukan wawancara mendalam dengan 15 orang informan, yang terdiri dari
5 pasangan suami istri yang masih harmonis dalam ikatan perkawinan dan 2
pasangan mantan suami istri yang telah bercerai, serta 1 orang janda dari
perkawinan etnis Jawa dengan Papua yang menetap di Kota Jayapura. Berdasarkan
hasil penelitian mengindikasikan bahwa banyak pasangan suami istri berbeda
etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri
masing-masing secara dominan satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya
konflik adalah karena adanya misscommunication
diantara kedua belah pihak yang diakibatkan karena perbedaan etnis dan
sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut. Penelitian ini menunjukkan,
keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa
mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan.
Faktor gaya komunikasi pada etnis Jawa dengan Papua (mengontrol, agresif,
koersif, dominasi dan bersifat rasis) memberi kontribusi untuk menentukan
munculnya konflik. Solusi utamanya adalah mereka membentuk ikatan komitmen yang
kuat dan perlunya pemahaman akan adanya keberagaman.
Kata kunci : Rintangan Komunikasi Antar
Budaya, Hubungan Interpersonal, Strategi Manajemen Konflik
ABSTRACT
The research aims to (1) identify the
barriers of communication between the pair of Javanese culture with Papua,
which is still in wedlock or from couples who have divorced, (2) analyzing
conflict management strategies in interpersonal relationships Javanese couples
with Papua in addressing existing conflicts. Research using interpretive
approach to qualitative research methods. Data obtained by conducting in-depth
interviews with 15 informants, which consists of 5 couples who still harmony in
marriage and two pairs ex-husband and wife who have been divorced, and 1 widow
of marriage Javanese settled Papua in Jayapura. Based on the results of the
study indicate that many married couples of different ethnic Papuans with Java,
which tends to want to show the characteristic of the culture of self
respective dominant one another. One source of conflict is due to
misscommunication between two parties resulting from differences in ethnicity
and its difficult to adjust the condition. This study shows that openness of
communication between couples who either can not necessarily reduce the
intensity of the conflict escalation process in a marital relationship. Factors
communication style in Javanese with Papua (controlling, aggressive, coercive,
domination and racist) contribute to determining the appearance of conflict.
The ultimate solution is that they form a bond strong commitment and
understanding of the need for diversity.
Keywords: Barriers to Intercultural
Communication, Interpersonal Relations, Conflict Management Strategies
Pendahuluan
Data yang dirilis Pengadilan Agama Kabupaten Merauke,
menyebutkan terdapat 3 wilayah di Provinsi Papua dengan tingkat perceraian yang
tinggi yaitu Kota Jayapura (ibukota provinsi Papua), Kabupaten Merauke dan Kota
Sorong di mana pada tahun 2013 terdapat 200 hingga 350 kasus yang terus
mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Adapun alasan perceraian tersebut beragam antara lain masalah kecemburuan,
masalah ekonomi, masalah sosial budaya dan ketidakharmonisan dalam rumah
tangga.
Memahami
budaya khususnya dalam konteks hubungan antar pribadi yang berbeda tentu
bukanlah hal yang mudah, karena itu pasangan suami istri dituntut untuk mau
mengerti realitas budaya masing-masing dan paham akan adanya keberagaman, hal
ini sebagaimana salah satu fungsi komunikasi antar budaya dalam konteks interpersonal relation. Fungsi komunikasi antar pribadi ialah
berusaha meningkatkan hubungan insan (human
relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi
ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang
lain (Cangara, 2012: hal 68). Konflik yang terjadi di dalamnya adalah konflik
interpersonal, yaitu situasi yang terjadi ketika kebutuhan atau ide dari
seseorang yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kebutuhan atau ide
dari lainnya (Verdeber & Fink, 1998 : hal. 286).
Problem utama yang sering timbul adalah kecenderuangan
menganggap budayanya sendiri sebagai sesuatu kemestian tanpa mempersoalkan lagi
dan karenanya menggunakannya sebagai standar
untuk mengukur budaya pasangan atau bersifat etnosentris. Etnosetrisme adalah
memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala
sesuatu itu dan hal-hal lainya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan
kelompoknya (dalam Gudykunst dan Kim,1984: hal 51-52).
Tentu saja membangun hubungan interpersonal yang
efektif dalam pernikahan beda budaya bukanlah hal yang sederhana. Hal ini juga
terjadi bagi pasangan dari kaum transmigran di Papua yang didominasi
orang-orang dari etnis Jawa yang menikah dengan penduduk lokal (orang asli
papua). Tidak dipungkiri bahwa etnis Jawa yang semakin banyak bermukim di Papua
bukan saja membawa dampak pembangunan namun juga membawa dampak sosial budaya
pada adanya pernikahan pendatang dengan warga pribumi.
Rintangan komunikasi antar budaya dari pasangan beda
etnis ini pun menjadi sangat rumit, mengingat begitu banyak hambatan-hambatan
komunikasi dan hambatan budaya yang kemudian penulis merasa tertarik untuk
meneliti dan mengkajinya lebih jauh. Penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan berbeda budaya, studi pengalaman
bagi pasangan yang telah melakukan pernikahan beda budaya maupun sebagai bahan
kajian dalam konsultasi permasalahan keluarga sehingga ditemukan strategi
manajemen konflik yang tepat dalam mencapai komunikasi antar budaya yang
efektif pada pasangan suami istri sehingga tingkat perceraian yang terjadi di
Provinsi Papua khususnya di Kota Jayapura dapat diminimalisir.
Permasalahan
Rumusan
masalah antara lain:
1.
Bagaimanakah
rintangan komunikasi antar budaya (hambatan-hambatan komunikasi dan tantangan
persoalan budaya yang dihadapi) dalam hubungan interpersonal pasangan etnis
Jawa dengan Papua yang masih dalam ikatan perkawinan maupun pengalaman dari
pasangan yang telah bercerai ?
2.
Bagaimanakah
strategi manajemen konflik interpersonal pasangan suami istri beretnis Jawa
dengan Papua baik yang masih dalam ikatan perkawinan maupun pasangan yang telah
bercerai
Kajian
Konsep dan Teori
a.
Komunikasi
Kehidupan
manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi karena
komunikasi merupakan bagian integral dari sistem tatanan kehidupan sosial
manusia dan atau masyarakat. Sesuai dengan sifat dasarnya, manusia selalu
berusaha berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Manusia berinteraksi dalam
keperluan melengkapi serta menyempurnakan pengetahuan yang dimiliki guna
beradaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi
mengandung makna bersama-sama (common).
Istilah komunikasi atau communication
berasal dari bahasa Latin yaitu communication
yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis, yang
bermakna umum atau bersama-sama.
Cherry
dalam Stuart (1983) menjelaskan bahwa istilah komunikasi berpangkal pada
perkataan Latin Communis yang artinya
membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih.
Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa Latin Communico yang artinya membagi.
Menurut
catatan yang dibuat oleh Dance dan Larson dalam Cangara (1998: 18) bahwa sampai
tahun 1976 telah ada 126 definisi yang telah dibuat oleh pakar dengan latar
belakang dan perspektif yang berbeda satu sama lain. Para ahli mendefinisikan
komunikasi menurut sudut pandang mereka masing-masing. Ingat bahwa sejarah ilmu
komunikasi, ia dikembangkan dari ilmuwan yang berasal dari berbagai disiplin
ilmu.
Sarah
Trenholm dan Arthur Jensen mendefinisikan komunikasi, “a process by which a source transmits a message to a receiver through
some channel.” (Komunikasi adalah suatu proses di mana sumber
mentransmisikan pesan kepada penerima melalui beragam saluran). Raymond S. Ross
mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan
mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar
membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang
dimaksudkan oleh sang komunikator (Wiryanto, 2004: 6).
b.
Budaya
Kata
“budaya” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak
dari kata buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal.
Istilah
culture, yang merupakan istilah
bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere”
yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, keahlian mengolah dan
mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam (Daryanto, 2010: 78).
Budaya
berkenaan dengan cara manusia hidup. Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai
yang muncul dari proses interaksi antar-individu. Nilai-nilai ini diakui, baik
secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi
tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung di dalam alam
bawah sadar individu dan diwariskan pada generasi berikutnya.
Merujuk
arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya bisa diartikan sebagai
1) pikiran, akal budi; 2) adat istiadat; 3) sesuatu yang mengenai kebudayaan
yang sudah berkembang (beradab, maju); dan 4) sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan yang sudah sukar diubah (Nasrullah, 2012: 15).
c.
Komunikasi
Antarbudaya
Masyarakat
Indonesia sejak dahulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek,
seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan
sebagainya.
Menurut
Samovar dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi ketika anggota dari satu
budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih
tepatnya, komunikasi antarbudaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang
persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi
(2014: 13).
Ada
penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam
berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya mengakui
dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik
kebudayaan antarpelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap
terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang
berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.
d.
Konfiik
Konflik adalah akibat situasi dimana
keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang
lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu (Nardjana, 1994) dalam
(Bagus , 2010 : 54).
Ada beberapa strategi dalam menghadapi konflik interpersonal. DeVito mengemukakan lima strategi untuk
mengatasi konflik Devito (2007). Berikut strategi
untuk mengatasi konflik menurut DeVito (2007) :
1)
Win-Win Strategies.
Di dalam menghadapi sebuah konflik,
cara penyelesaian konflik yang banyak dipilih adalah
win-win
solution dibandingkan dengan
win-lose
solution. Alasan utama pemilihan win-win solution adalah adanya kepuasan bersama dan tidak
menimbulkan kebencian yang sering
ditimbulkan oleh win-lose solution. Dengan win-win solution dua pihak yang berkonflik dapat menyelamatkan masing-masing
image tentang dirinya.
2) Avoidance active fighting strategies.
Avoidance atau penghindaran dapat dilakukan secara fisik,
misalnya seperti
menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun. Di sini orang
meninggalkan konflik secara
psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Cara menghindar belum tentu
menjadi cara yang
baik untuk menyelesaikan
konflik. Terkadang
semakin banyak
menghindar, kualitas hubungan semakin menurun.
3) Force and talk strategies.
Ada beberapa orang
berpendapat bahwa kekerasan merusak hubungan mereka, namun
ada
pula yang mengatakan kekerasan fisik bahkan memperbaiki hubungan
mereka.
Satu-satunya alternatif nyata adalah bicara. Sebagai contoh, keterbukaan, sikap
positif, kesetaraan, sikap mendukung dan empati
adalah
titik awal yang cocok untuk
menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang baik
adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.
4) Face Detracting
Pendekatan untuk face-detracting untuk
konflik interpersonal
meliputi memperlakukan orang lain sebagai orang yang tidak kompeten dan tidak
dapat
dipercaya, tidak memiliki kemampuan
atau buruk. Face-detracting ditemukan dalam bentuk konflik karena
adanya
ketidakpercayaan, merendahkan
pasangan, dan
lain-lain. Hal tersebut dapat berupa mempermalukan orang lain
hingga merusak
reputasinya.
5) Verbal aggressiveness
Verbal aggressiveness merupakan strategi konflik yang tidak produktif, dimana salah
satu pasangan berusaha
memenangkan pendapatnya
dengan menyakiti
perasaan pasangan. Menyerang
karakter, mungkin karena itu sangat efektif dalam
menimbulkan sakit secara psikologis, taktik yang paling populer dari agresivitas
verbal.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April
2015 di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Lokasi penelitian meliputi beberapa
wilayah di kota Jayapura yang terdapat pasangan suami istri beretnis Jawa
dengan Papua, baik pasangan harmonis maupun pasangan yang telah bercerai.
Penelitian ini
menggunakan studi penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian
dasar yang memiliki tujuan untuk mencari pemahaman mengenai suatu masalah
(Sutopo, 2002: hal 109 ). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pendekatan
interpretif.
Informan dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang beretnis
Jawa dan Papua yang hidup bersama dalam ikatan nikah yang sah dan berkediaman
di kota Jayapura dan juga para pelaku pernikahan beda budaya ini yang telah
bercerai. Informan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan
sebelumnya atau dengan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan 15 informan yang terdiri dari 5 pasangan dari pasangan
harmonis dan 2 pasangan dari pasangan bercerai serta 1 orang janda beretnis
Papua yang memiliki mantan suami bertenis Jawa.
Dalam penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi langsung dan
studi dokumen. Wawancara langsung bersifat terbuka dan luwes yang dilakukan
dalam suasana yang informal dan akrab (Nasution, 1992: hal 69-81 dalam
Puspowardhani, 2008).
Sementara itu observasi langsung yang
dilakukan bersifat pasif. Maksudnya, peneliti tidak akan terlibat jauh secara
emosional dengan objek yang diteliti. Menurut Lofland dan Lofland (dalam
Moleong, 2007: 157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah
kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data dokumen dan lain-lain.
Dalam penelitian ini
digunakan teknik analisis data kualitatif. Di mana seluruh proses penelitian
tidak ditujukan untuk membuktikan suatu hipotesis tetapi untuk mengambil suatu
kesimpulan yang bermakna dan sebagai evaluasi atas kasus yang ditemukan di
lapangan. Dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menelaah fenomena atau kenyataan
sosial dalam suasana yang berlangsung secara wajar atau ilmiah, bukan dalam
kondisi yang terkendali atau laboratories sifatnya ( Faisal, 1990 :18, dalam
Puspowardhani, 2008).
Hasil Penelitian
Hambatan Komunikasi Dalam Perkawinan Etnis Jawa Dengan Papua
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kendala-kendala dan
benturan-benturan komunikasi yang berupa hambatan komunikasi baik berupa
rintangan kerangka berpikir, persepsi, hingga perbedaan bahasa dan kesalah
pahaman non verbal karena adanya perbedaan budaya yang merujuk pada terjadinya
sumber konflik dalam konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri
beretnis Jawa dengan Papua baik dari kategori keluarga harmonis maupun dari
kategori pasangan yang telah bercerai.
Hambatan komunikasi akibat perbedaan kerangka berpikir yang nampak dalam
penelitian ini diakibatkan karena perbedaan tingkat pendidikan, pengalaman dan
mobilitas, sedangkan hambatan komunikasi yang berupa masalah persepsi dialami
oleh mayoritas informan karena adanya persepsi terhadap budaya pasangan dan
sebaliknya juga persepsi keluarga besar pasangan terhadap individunya yang
dipengaruhi oleh stereotipe yang berkembang antara budaya Jawa dan juga budaya
Papua. Sementara itu dalam temuan
penelitian ini nampak bahwa ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam
kehidupan sehari-hari keluarga etnis Jawa dengan Papua, seringkali menghasilkan
konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang
dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan
mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan
nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya.
Dari penjabaran hasil penelitian mengenai hambatan
komunikasi antar budaya dalam perkawinan etnis Jawa dengan Papua maka dapat
dibuat matriks mengenai pandangan masing-masing pasangan terhadap etnis
pasangannya, yang dapat diurai pada tabel 13 berikut ini :
Tabel 1
Pandangan
Pasangan Etnis Papua Terhadap Etnis Jawa
No
|
Hambatan komunikasi
|
Pesan yang terungkap
|
1
|
Rintangan kerangka
berpikir (wawasan dan pendidikan)
|
Tertutup, cuek jika ada
masalah, acuh tak acuh jika sedang berkonflik
|
2
|
Persepsi
|
Pasangan beretnis Jawa
cenderung materialistik, katrok, cenderung makan dalam (lain di mulut dan
lain di hati),
|
3
|
Bahasa verbal
|
Budaya Jawa sangat
memperhatikan sapaan monggo sebagai bentuk meminta izin, logat Jawa cenderung
halus, dan terdapat kepatutan kapan yang muda harus ngomong kepada yang lebih
tua.
|
4
|
Bahasa non verbal
|
Membungkukkan badan
kepada orang yang lebih tua harus diperhatikan sebagai bentuk penghormatan
dan pasangan beretnis Jawa saat berdiskusi tidak terlalu senang memperhatikan
wajah lawan bicara
|
(Sumber : Hasil Analisis Penulis)
Pada tabel
1 tersebut, nampak bagaimana pandangan dari pasangan beretnis Papua terhadap
pasangan nya yang beretnis Jawa. Dimana terdapat masalah perspektif tersebut
dikarenakan oleh permasalahan hambatan komunikasi baik karena perbedaan
kerangka berpikir (wawasan, tingkat pendidikan dan mobilitas), masalah persepsi
hingga permasalahan kesalahphaman bahasa baik secara verbal maupun non verbal.
Sementara
itu penilaian dari pasangan beretnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis
Papua pun tidak luput dari penilaian masing-masing. Berikut pada tabel 14 akan
dijabarkan penilaian tentang pasangannya ditinjau dari hambatan komunikasi yang
ada :
Tabel 2
Pandangan
Pasangan Etnis Jawa Terhadap Etnis Papua
No
|
Hambatan komunikasi
|
Pesan yang terungkap
|
1
|
Rintangan kerangka
berpikir (wawasan dan pendidikan)
|
Sering meributkan
hal-hal kecil, cenderung merendahkan pasangan, sering berbeda pola berpikir
|
2
|
Persepsi
|
Kasar dalam berbicara,
susah diatur dan kepala batu
|
3
|
Bahasa verbal
|
Dialek keras,
ceplas-ceplos dan cenderung kasar
|
4
|
Bahasa non verbal
|
Pasangan beretnis Papua
saat berdiskusi cenderung tidak senang jika sedang mengobrol tidak
diperhatikan.
|
(Sumber : Hasil Analisis Penulis)
Pada tabel
2 tersebut nampak bagaimana pandangan etnis Jawa terhadap pasangannya yang
beretnis Papua, yang ditinjau dari hambatan komunikasi yang ditemui.
Pada
tabel 1 dan 2 nampak bagaimana dalam komunikasi antar budaya pada konteks
hubungan interpersonal pasangan suami istri ini berpengaruh pada perilaku
komunikasi masing-masing dalam bentuk sikap yang ditunjukkan. Hal ini
menunjukkan bagaimana budaya mempengaruhi perilaku komunikasi dan sebaliknya
perilaku komunikasi terpengaruh oleh faktor budaya.
Strategi Manajemen Konflik
Interpersonal Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa - Papua
Dalam penelitian ini para informan mengalami masa-masa
sulit di dalam pernikahan, terutama pada awal pernikahan mereka. Konflik yang umumnya
dialami para informan dipengaruhi oleh perbedaan budaya mereka baik yang bersumber dari perbedaan rintangan
kerangka berpikir, persepsi, bahasa verbal dan nonverbal serta hambatan budaya
yang terdiri dari masalah stereotipe, etnosentrismen, agama, nilai-nilai dan
norma, hingga masalah rintangan status. Adapun strategi manajemen
konflik pasangan beda etnis ini berbeda antara kategori pasangan harmonis dan
pasangan yang telah bercerai. Pasangan harmonis cenderung menggunakan strategi
manajemen konflik yang produktif seperti win-win strategies, avoidance active fighting
strategies dan force and talk strategies. Sedangkan pasangan etnis Jawa dengan
Papua dari kategori pasangan yang telah bercerai ketika menghadapi konflik yang
berkaitan dengan hambatan komunikasi dan budaya cenderung menggunakan
pendekatan strategi konflik yang tidak produktif yaitu dengan pendekatan face detracting
dan verbal aggressiveness, namun ada juga kasus yang diselesaikan dengan pendekatan avoidance (penghindaran).
Berdasarkan hasil
penelitian ini, cara penyelesaian
konflik dengan pendekatan win-win solution, umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan bersama dan tidak menimbulkan kebencian dari istrinya kepada suaminya maupun sebaliknya
dari suami kepada istri hal ini dilakukan dalam bentuk diskusi dan bertukar
pikiran. Avoidance atau penghindaran dilakukan oleh
pasangan beda etnis ini secara fisik,
misalnya seperti
menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun. Di sini mereka
meninggalkan konflik secara
psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Terdapat dua tipe
penghindaran di dalam menghadapi konflik oleh pasangan beretnis Jawa dengan
Papua ini, yang pertama penghindaran dilakukan
untuk menenangkan
diri agar mereka dapat
berpikir dengan benar. Penghindaran yang kedua dilakukan karena memang
mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini karena ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik.
Apabila konflik tidak dihindari
maka akan berisiko
terhadap perpecahan.
Dalam penelitian ini pendekatan force and talk strategies
merupakan pendekatan dalam penyelesaian konflik yang banyak digunakan pasangan
etnis Jawa dengan Papua dari kategori keluarga harmonis. Pendekatan ini
dilakukan dengan bentuk menunjukkan sikap keterbukaan, sikap positif, saling mendukung, dan empati
yang
umumnya dinilai sebagai titik
awal yang cocok untuk menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang baik
adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.
Berdasarkan hasil penelitian pada strategi
manajemen konflik yang tidak produktif, yang banyak digunakan pasangan-pasangan
etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan cerai ditemukan dalam bentuk face detracting,
yang ditemukan
dalam konflik karena
adanya ketidakpercayaan, merendahkan pasangan, dan
lain-lain.
Selain itu ditemukan juga strategi
manajemen konflik tidak produktif dari pasangan cerai ini dalam bentuk verbal
aggressiveness, dimana
gejalanya adalah salah satu pasangan berusaha memenangkan pendapatnya
dengan menyakiti
perasaan pasangan biasanya dalam bentuk kekerasan verbal
berupa makian, dan kata-kata yang kasar dan agresif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
strategi komunikasi yang terbuka satu sama lain belum tentu dapat mengurangi
terjadinya konflik dalam rumah tangga, tetapi gaya komunikasi yang agresif,
koersif, otoriter dan rasis memberi kontribusi terhadap munculnya sejumlah
konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan etnis Jawa dengan Papua.
Sebagaimana tampak pada tabel 1 berikut :
Tabel 3
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Harmonis
No
|
Sifat
|
Karakteristik Komunikasi
|
1
|
Mengasyikan
|
Satu sama lain suka
bercanda dan saling humoris
|
2
|
Memberikan kesan
|
Menyatakan pendapat
dengan berusaha santun
|
3
|
Rileks
|
Tenang dan tetap berusaha
menunjukkan sikap nyaman saat berkonflik
|
4
|
Penuh perhatian
|
Pendengar yang baik
dan kadang memberikan semangat pada pasangan
|
5
|
Terbuka
|
Saling menyatakan
perasaan, saling memberikan informasi secara terbuka
|
6
|
Ramah
|
Selalu memberikan
dukungan saat terjadi konflik
|
( Sumbe
: Hasil Analisis Penulis)
Pada tabel 3 di atas
nampak bagaimana gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya
yang menunjukkan kecenderungan sifat yang membentuk karakteristik komunikasinya
dari pasangan etnis Jawa dengan Papua dengan kategori keluarga harmonis ini.
Sementara itu pada
tabel 4 nampak bagaimana sebaliknya gaya komunikasi masing-masing individu
terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang kemudian
membentuk karakteristik komunikasi dari pasangan etnis Jawa dengan Papua yang
telah bercerai, seperti nampak pada
tabel 2 berikut ini :
Tabel 4
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Telah Bercerai
No
|
Sifat
|
Karakteristik
Komunikasi
|
1
|
Dominasi
|
Sering berbicara, memotong pembicaraan, koersif,
rasis dan menguasai pembicaraan
|
2
|
Dramatis
|
Agresif, menggunakan bahasa kasar dan suka
membesar-besarkan masalah
|
3
|
Suka bertengkar
|
Senang berargumen
dan kadang bersifat memusuhi
(suka curiga dan sebagainya)
|
(Sumber:
Hasil Analisis Penulis)
Dari tabel 4 terlihat
bagaimana gaya komunikai pasangan suami
istri dari etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai ini. Dari hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa gaya komunikasi yang terbuka belum tentu dapat mempertahankan
keharmonisan rumah tangga. Tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif,
dominasi dan otoriter serta rasis cenderung memberikan kontribusi terhadap
munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan beda etnis
ini.
Pembahasan
Hambatan Komunikasi Antar Budaya Dalam
Perkawinan dan Perceraian Etnis Jawa dengan Papua Di Kota Jayapura
Setelah mengidentifikasi dan menganalisa setiap data
dari hasil wawancara maka peneliti menguraikan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi antar budaya dalam konteks komunikasi
antar pribadi dibutuhkan dalam sebuah hubungan interpersonal, intinya bukan
saja berbicara, tetapi bagaimana kualitas komunikasi pada pasangan beda etnis
ini itu dapat dijaga. Banyak pasangan suami
istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri
khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Tetapi mereka
tidak sadar bahwa dorongan seperti itu muncul karena mereka tidak mempunyai
kemampuan untuk melakukan komunikasi yang efektif satu sama lain. Salah satu
penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara kedua belah pihak yang terjalin dalam
ikatan perkawinan, miss communication
terjadi antara lain karena adanya perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan
kondisi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa
miskomunikasi dan konflik dalam rumah tangga etnis Papua dengan Jawa yang
sampai pada tahap perceraian lebih disebabkan oleh pemilihan pendekatan gaya
komunikasi yang kurang tepat dalam menyikapi berbagai hambatan komunikasi dan
budaya yang ada sehingga diperlukan pemahaman yang tepat mengenai pola
komunikasi yang efektif, walaupun miscommunication
ini hanya merupakan salah satu penyebap diantara berbagai macam alasan dan
penyebap perceraian. Disamping itu, agar konflik tidak menjadi bersifat terus
menerus dibutuhkan pemahaman atas komunikasi dan kerjasama diantara pasangan
suami isteri sehingga tercapai win-win
solution dalam menghadapi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
tidak seiring sejalan.
Bagaimanapun juga gaya komunikasi yang represif akan
selalu menimbulkan reaksi yang negatif. Keterbukaan komunikasi antar pasangan
suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik pada
proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada pasangan
beda etnis Papua dengan Jawa (mengontrol, agresif, rasis, koersif, dominasi)
memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik destruktif.
Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila
terdapat persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya
dengan komunikasi antarbudaya pada pasangan suami istri beda etnis ini. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit
mengingat adanya unsur
perbedaan kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya. Itulah sebabnya, usaha untuk
menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya
bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana. Memahami
secara jelas dan komprehensip berbagai hambatan maupun rintangan dalam
komunikasi antar budaya adalah jembatan ke arah perwujudan komunikasi antar
budaya yang efektif (Rakhmat, 2009 : hal 56).
Terdapat banyak masalah- masalah potensial yang sering terjadi di dalam
hubungan perkawinan campuran, seperti pencarian kesamaan,
penarikan diri,
kecemasan,
pengurangan
ketidakpastian,
stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2010: hal 316).
Pada indikator hambatan
komunikasi dalam penelitian ini, konteks yang menyangkut rintangan kerangka
berpikir baik yang berkaitan dengan
pendidikan, wawasan dan mobilitas menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi
sikap pasangan dalam memberikan umpan balik
pada setiap kasus yang dihadapi pada hubungan interpersonal mereka, bahkan
beberapa pasangan pada awal membina hubungan rumah tangga sempat merasa
khawatir, jika perbedan tingkat pendidikan ini dapat mempengaruhi kualitas
hubungan interpersonalnya. Namun
para informan ini melalui proses penyesuaian yaitu melalui pengembangan
hubungan dengan melalui proses pengenalan sikap sejak awal hubungan,
menunjukkan sikap terbuka, berpikir positif dan saling memahami satu sama lain
akhirnya mampu menyikapi secara bijak hambatan komunikasi ini.
Teori komunikasi dalam hal ini teori penetrasi sosial
yang menjelaskan tentang pengembangan hubungan, ternyata sejalan dengan hasil
penelitian ini. Hal ini nampak dalam konteks penelitian hubungan suami istri
pasangan harmonis ini di mana pada tahap awal atau tahap orientasi sebelum
menikah, diawali dengan saling pengenalan lebih dahulu, sementara sang istri,
setelah hubungan suami istri semakin lama, pelan-pelan mampu menyesuaikan agar
kedepannya kehidupan keluarga lebih mantap dan tetap harmonis.
Salah satu hambatan komunikasi yang juga diteliti
berdasarkan kerangka pikir penelitian adalah menyangkut masalah persepsi
terhadap keluarga maupun sebaliknya persepsi keluarga terhadap budaya pasangan.
Adanya persepsi jika mengarah kepada persepsi negatif tentu akan menghambat
ruang komunikasi, jika hal ini terlebih dahulu menjadi faktor kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebih tanpa ada pembuktian dan alasan yang jelas pada
persepsi-persepsi yang ada tentang satu budaya dengan budaya yang lainnya tentu
akan mempengaruhi kondisi psikologis para individu ini. Bagi keluarga kawin
campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar
lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu
budaya. Keluarga dengan karakter budaya yang kuat tentunya akan mewariskan
kebudayaan tersebut kepada generasinya (Dood, 1998 : hal 112).
Altman dan Taylor melalui teori penetrasi sosial mengibaratkan
manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki
beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang,
maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian
manusia.
Lapisan kulit terluar dari
kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa
kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Dan jika
kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada
lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih
bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu
saja, orang terdekat misalnya istri maupun suami.
Dan lapisan yang paling dalam
adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri,
konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya.
Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam
kehidupan seseorang. Lapisan ini bisa terlihat melalui pengungkapan diri.
Seperti pelaku-pelaku komunikasi etnis Jawa dengan Papua yang merupakan
pasangan suami istri pada penelitian ini, menunjukkan kecenderungan pada
awalnya hanya mengetahui dari luar saja penilaian tentang pribadi satu sama
lain, bahkan hanya mendengar persepsi keluarga tentang satu suku yang cenderung
digeneralisasikan tanpa mengetahui bagaimana sebetulnya individu tersebut.
Melalui pengenalan lebih jauh
pasangan suami istri ini, dengan seiring berjalannya waktu, dan para pelaku
komunikasi ini mampu melalui satu tahap ke tahap berikut walaupun pada
prosesnya kerap kali menimbulkan konflik dan rasa kecemasan, ketika proses ini
mampu dilalui maka terbuka lagi lapisan kulit berikutnya, yang memperlihatkan
bagaimana sebetulnya pasangannya, bukan hanya sekedar penilain luar dari
persepsi keluarga yang kadang menimbulkan kekhawatiran dan menghambat hubungan
interpersonal satu sama lain, tetapi melalui proses pengenalan dan pengungkapan
diri masing-masing, pasangan harmonis ini berusaha mencapai tahap stabil dalam
hubungan mereka.
Sementara
itu masih menyangkut hambatan komunikasi, maka indikator selanjutnya adalah
masalah bahasa baik verbal maupun nonverbal. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, terlihat kecenderungan yang menunjukkan bahwa orang Papua yang masih
sering menggunakan bahasa Papua menunjukkan masih ada pola pikir yang kuat akan
kebudayaan dan etnisnya dan kurang setuju dengan perkawinan campur. Sebaliknya
mereka yang tidak lagi menggunakan bahasa Papua tidak lagi mempunyai interest
yang kuat pada kebudayaannya. Mereka akan cenderung beralih perhatiannya pada
kebudayaan dan oleh karenanya mereka akan cenderung menerima perkawinan dengan
etnis yang lain.
Kesalahpahaman dalam berbahasa dalam
penelitian ini umumnya disebabkan karena adanya perbedaan cara pengucapan,
logat, dan nada bicara. Dalam penelitian ini, jika etnis Jawa, seseorang berbicara dengan nada yang halus dan
ketika berbicara dengan nada tinggi, maka akan dianggap tidak memiliki tata
krama sedangkan etnis Papua dalam penelitian ini mereka terbiasa berbicara
dengan nada keras dan cepat. Maka ketika dua orang yang berasal dari kedua
daerah ini bertemu dan berbicara, kecenderungan untuk terjadi kesalahpahaman
akan lebih besar. Perbedaan karakter ini juga yang mempengaruhi kondisi
seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Saling pengertian akan budaya masing-masing mutlak
diperlukan untuk meminimalisasi hambatan-hambatan komunikasi tersebut, meskipun
tidak bisa dipungkiri bahwa saling memahami kebudayaan pasangan tidak menjamin
terbebas dari kesalahpahaman (munculnya rasa tersinggung) pada pasangan yang
berbeda kebudayaan. Apalagi jika stereotipe masih melekat pada masing-masing
individu pada pelaku pernikahan beda etnis, ini akan menjadi masalah tersendiri
lagi. Mengingat, melekatnya stereotipe pada
diri individu merupakan suatu normalitas, (Martin
dan Nakayama, 2007:
hal 189). Bagaimanapun juga, permasalahan stereotipe ini tidak bisa hanya dipandang sebatas permasalahan
sosial semata,
melainkan sering dikaitkan dengan permasalahan
komunikasi antarbudaya (Samovar, Porter &
Edwin, 2010: hal 205). Budaya membantu
seseorang memahami wilayah
atau
ruang
yang
ditempatinya.
Budaya memudahkan kehidupan dengan memberikan solusi-solusi yang telah disiapkan untuk
memecahkan masalah-masalah, dengan menetapkan pola-pola hubungan,
dan cara-cara
memelihara konsensus
(Harris & Moran
dalam
Mulyana, ed.;
2003: 5). Realitas budaya berpengaruh dan berperan dalam komunikasi.
budaya diciptakan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi,
sebaliknya praktik-praktik komunikasi diciptakan, dibentuk dan ditransmisikan
melalui budaya (Rahardjo, 2005: 49-51).
Strategi
Manajemen Konflik Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa dengan Papua
Perbedaan budaya dapat menyebabkan konflik, dan ketika konflik terjadi,
latar belakang
budaya dan pengalaman dapat berpengaruh pada bagaimana seseorang mencari solusi.
Menurut Wilmot dan Hocker (dalam Martin & Nakayama, 2004: hal 376-378),
konflik dapat dilihat
sebagai
sebuah kesempatan, yang
dianggap sebagai ketidaksesuaian tujuan, nilai-nilai,
harapan, proses ataupun
hasil
di antara dua atau lebih
individu maupun kelompok. Hal ini yang nampaknya belum
banyak disadari pasangan-pasangan pada kategori cerai saat dahulu mereka
membina hubungan rumah tangga.
Pihak-pihak yang
melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai
keinginan yang jujur
dan tulus
untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal balik. Asumsi ini memerlukan sikap-sikap yang
positif dari para
pelaku komunikasi antarbudaya dan penghilangan hubungan-hubungan superior- inferior yang berdasarkan keanggotaan dalam budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok
etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2006: 37). Banyak masalah komunikasi
antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang
menyadari dan tidak
mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya (Liliweri,
2004: 254).
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan temuan penulis pada bab sebelumnya, maka
penulis membuat kesimpulan sebagai berikut:
1.
Rintangan
komunikasi yang terjadi antara pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua
terutama terletak pada kerangka berpikir, persepsi dan bahasa. Rintangan
kerangka berpikir karena adanya perbedaan pendidikan, wawasan dan mobilitas,
sedangkan dari segi persepsi disebapkan karena faktor budaya dalam bentuk stereotipe, etnosentrisme, nilai dan norma.
Adapun faktor bahasa karena perbedaan makna atas simbol-simbol bahasa yang
digunakan baik verbal maupun nonverbal. Terdapat hambatan budaya yang
dipengaruhi rasa ketidakpastian dalam berkomunikasi yang kemudian awalnya
menimbulkan rasa ketidaknyamana karena pertemuan dua budaya yang berbeda hal
ini sejalan dengan asumsi teori Kecemasan dan Ketidakpastian.
2.
Strategi
manajemen konflik yang digunakan oleh pasangan-pasangan suami istri antara
etnis Jawa dengan Papua yang hidup rukun dan harmonis adalah win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Win-win
strategis (dalam berdilaog ,mencari solusi bersama), avoidance (menghindari masalah untuk tidak memperkeruh keadaan dan
menenangkan pikiran), force and talk
strategies (empati, simpati, support, trust, terbuka). Bagi pasangan suami
istri yang bercerai cenderung menggunakan
strategi konflik tidak produktif, yakni face detracing strategies ( merendahkan pasangan, tidak saling
percaya) dan verbal aggressiveness
(kekerasan verbal, makian, otoriter). Kecenderungan manajemen konflik yang
dilakukan pasangan beda etnis dipengaruhi oleh tahap-tahapan pengenalan dan
penggalian sikap, dimana hal ini sejalan dengan tahapan dalam teori penetrasi
sosial.
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied. 2012.
Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.
Dodd, Carley H. 1998. Dynamics
of Intercultural Communication (Fifth Edition). USA : The McGraw-Hill
Companies, Inc
Gudykunts, William B,
Kim, Young Yun. 1984. Methods For
Interculture Communication Research, Sage Publication.
Liliweri. Alo. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Martin,
Judith
N.,
&
Thomas K. Nakayama. 2007. Intercultural
Communication
in Contexts (Third Edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Moleong,
Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.
Bandung: Remaja Rosadakarya.
Mulyana, D dan
Rachmat, Jalauddin. 2006. (Editor) Komunikasi
Antar Budaya. Panduan berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,
Remaja. Bandung: Rosadakarya.
Puspowardhani,
Rulliyanti. 2008. Komunikasi Antar Budaya
Dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta. Tesis tidak
diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Rahardjo, Turnomo. 2005.
Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalauddin.
2009. Psikologi Komunikasi.
Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Samovar. AL, Porter ER
dan Mcdaniel RE. 2010. Komunikasi Lintas
Budaya, Terjemahan oleh Indri Margaretha Sidabalok: Salemba Humanika
Sutopo. 2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Verderber, Rudolph
F, dan Kathleen S.
Verderber.
1998. Inter-Act Using
Interpersonal
Communication Skill. California: Wadsworth
Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar