Rabu, 28 Maret 2018

JURNAL JENDELA FESSOSPOL USTJ



komunikasi antar budaya dalam perkawinan dan perceraian etnis jawa dengan papua di kota jayapura

Rostini Anwar

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sains dan Teknologi Jayapura

ABSTRACT
The research aims to (1) identify the barriers of communication between the pair of Javanese culture with Papua, which is still in wedlock or from couples who have divorced, (2) analyzing conflict management strategies in interpersonal relationships Javanese couples with Papua in addressing existing conflicts. Research using interpretive approach to qualitative research methods. Data obtained by conducting in-depth interviews with 15 informants, which consists of 5 couples who still harmony in marriage and two pairs ex-husband and wife who have been divorced, and 1 widow of marriage Javanese settled Papua in Jayapura. Based on the results of the study indicate that many married couples of different ethnic Papuans with Java, which tends to want to show the characteristic of the culture of self respective dominant one another. One source of conflict is due to misscommunication between two parties resulting from differences in ethnicity and its difficult to adjust the condition. This study shows that openness of communication between couples who either can not necessarily reduce the intensity of the conflict escalation process in a marital relationship. Factors communication style in Javanese with Papua (controlling, aggressive, coercive, domination and racist) contribute to determining the appearance of conflict. The ultimate solution is that they form a bond strong commitment and understanding of the need for diversity.
Keywords: Barriers to Intercultural Communication, Interpersonal Relations, Conflict Management Strategies
ABSTRAK
Penelitian bertujuan (1) mengidentifikasi rintangan komunikasi antar budaya pasangan etnis Jawa dengan Papua yang masih dalam ikatan perkawinan maupun dari pasangan yang telah bercerai, (2) menganalisa strategi manajemen konflik dalam hubungan interpersonal pasangan etnis Jawa dengan Papua dalam menyikapi konflik yang ada. Penelitian menggunakan pendekatan interpretatif dengan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan 15 orang informan, yang terdiri dari 5 pasangan suami istri yang masih harmonis dalam ikatan perkawinan dan 2 pasangan mantan suami istri yang telah bercerai, serta 1 orang janda dari perkawinan etnis Jawa dengan Papua yang menetap di Kota Jayapura. Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa banyak pasangan suami istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara kedua belah pihak yang diakibatkan karena perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut. Penelitian ini menunjukkan, keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada etnis Jawa dengan Papua (mengontrol, agresif, koersif, dominasi dan bersifat rasis) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik. Solusi utamanya adalah mereka membentuk ikatan komitmen yang kuat dan perlunya pemahaman akan adanya keberagaman.
Kata kunci : Rintangan Komunikasi Antar Budaya, Hubungan Interpersonal, Strategi Manajemen Konflik

Pendahuluan
Data yang dirilis Pengadilan Agama Kabupaten Merauke, menyebutkan terdapat 3 wilayah di Provinsi Papua dengan tingkat perceraian yang tinggi yaitu Kota Jayapura (ibukota provinsi Papua), Kabupaten Merauke dan Kota Sorong di mana pada tahun 2013 terdapat 200 hingga 350 kasus yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun alasan perceraian tersebut beragam antara lain masalah kecemburuan, masalah ekonomi, masalah sosial budaya dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Memahami budaya khususnya dalam konteks hubungan antar pribadi yang berbeda tentu bukanlah hal yang mudah, karena itu pasangan suami istri dituntut untuk mau mengerti realitas budaya masing-masing dan paham akan adanya keberagaman, hal ini sebagaimana salah satu fungsi komunikasi antar budaya dalam konteks interpersonal relation. Fungsi komunikasi antar pribadi ialah berusaha meningkatkan hubungan insan (human relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2012: hal 68). Konflik yang terjadi di dalamnya adalah konflik interpersonal, yaitu situasi yang terjadi ketika kebutuhan atau ide dari seseorang yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kebutuhan atau ide dari lainnya (Verdeber & Fink, 1998 : hal. 286).
Problem utama yang sering timbul adalah kecenderuangan menganggap budayanya sendiri sebagai sesuatu kemestian tanpa mempersoalkan lagi dan karenanya menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya pasangan atau bersifat etnosentris. Etnosetrisme adalah memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (dalam Gudykunst dan Kim,1984: hal 51-52).
Membangun hubungan interpersonal yang efektif dalam pernikahan beda budaya bukanlah hal yang sederhana. Hal ini juga terjadi bagi pasangan dari kaum transmigran di Papua yang didominasi orang-orang dari etnis Jawa yang menikah dengan penduduk lokal (orang asli papua). Tidak dipungkiri bahwa etnis Jawa yang semakin banyak bermukim di Papua bukan saja membawa dampak pembangunan namun juga membawa dampak sosial budaya pada adanya pernikahan pendatang dengan warga pribumi. Rintangan komunikasi antar budaya dari pasangan beda etnis ini pun menjadi sangat rumit, mengingat begitu banyak hambatan-hambatan komunikasi dan hambatan budaya yang kemudian penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkajinya lebih jauh. Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan berbeda budaya, studi pengalaman bagi pasangan yang telah melakukan pernikahan beda budaya maupun sebagai bahan kajian dalam konsultasi permasalahan keluarga sehingga ditemukan strategi manajemen konflik yang tepat dalam mencapai komunikasi antar budaya yang efektif pada pasangan suami istri sehingga tingkat perceraian yang terjadi di Provinsi Papua khususnya di Kota Jayapura dapat diminimalisir.
Tinjauan Pustaka
Komunikasi

                Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia mengemukakan komunikasi adalah suatu tranksaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan  membangun hubungan antar sesama manusia, melalui pertukaran informasi, untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (dalam Cangara, 2012 : 21).
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2004: 5).

Komunikasi Antar Budya
            Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam Liliweri, 2003: 11).
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.
Fungsi komunikasi antar budaya menurut Liliweri (2003: 11-12,36-42)  terdiri dari fungsi pribadi dan fungsi social. Fungsi pribadi diantaranya untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial, menambah pengetahuan. Sedangkan fungsi sosial diantaranya fungsi pengawasan, fungsi menjembatani, fungsi sosialisasi nilai, dan fungsi menghibur . Dalam Liliweri (2011 : 43) terdapat tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya, yaitu sebagai berikut:
yaitu:
1)     Komunikator.
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, nilai dan norma, penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.
2)     Komunikan.
Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu.  Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu benar  dan baik; dan (3) tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.
3)     Pesan
Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol.
4)     Media
Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, media elektronik dan tatap muka.
5)     Efek.
Efek/umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
6)     Suasana.
Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu, serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung.
7)     Gangguan.
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan.
 Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena perbedaan budaya, status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal (dalam Liliweri, 2003: 25-31). 
Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaa
                                                         
Hambatan Komunikasi Antar Budaya
Hambatan dapat diartikan sebagai halangan atau rintangan yang dialami (Badudu-Zain, 1994:489). Memahami secara jelas dan komprehensip berbagai hambatan maupun rintangan dalam komunikasi antar budaya adalah jembatan ke arah perwujudan komunikasi antar budaya yang efektif (Raharjo, 2005 : 56).
Hambatan komunikasi dalam komunikasi antar budaya mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai, dan grup cabang (Rahmat, 2009, p. 11 – 12):.
Hambatan komunikasi yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan tersebut adalah (dalam Chaney, 2002, p. 11 – 12): Fisik (Physical- kebutuhan diri), budaya, persepsi, pengalaman, emosi, bahasa dan nonverbal
Mengenai hambatan komunikasi, gangguan dan rintangan komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam (dalam Cangara : 2012: 167), yakni :
1)      Gangguan teknis, yaitu terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi melalui saluran mengalami kerusakan
2)      Gangguan semantik, yaitu gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada bahasa yang digunakan. Gangguan semantik sering terjadi karena:        
a.     Kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing sehingga sulit dimengerti oleh khalayak tertentu.
b.    Bahasa yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang  digunakan oleh penerima.
c.     Struktur bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya,  sehingga membingungkan penerima.
d.    Latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan.
3)   Gangguan psikologis, yaitu terjadi karena adanya gangguan yang  disebabkan oleh persoalan-persoalan dalam diri individu.
4)   Rintangan fisik atau organik, yaitu rintangan yang disebabkan karena kondisi geografis.
5)   Rintangan status, yaitu rintangan yang disebabkan karena jarak sosial di antara peserta komunikasi, misalnya perbedaan status antara senior dan yunior atau atasan dan bawahan.
6)   Rintangan kerangka berpikir, yaitu rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. Ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda.
7)   Rintangan budaya, yaitu rintangan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi, hambatan dan persoalan Dodd (1998: 70-71) menggolongkannya ke dalam delapan kategori:
1)     Efek Romeo dan Juliet
Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.
2)     Peran yang diharapkan
beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para isteri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi.
3)     Gangguan dari keluarga besar
Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya.
4)      Budaya kolektif-individualistik
Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.
5)      Bahasa dan kesalahpahaman
Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya.
6)      Model konflik
Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.
7)     Cara membesarkan anak
Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak.
8)     Pandangan negatif dari komunitas
Hal ini bisa menyangkut masalah stereotype, prasangka hingga etnosentrisme yang kemudian mejadi rintangan dalam komunikasi antar budaya dari pasangan masing-masing. 
9)     Sistem kepercayaan,  Nilai dan Norma
Konsep berikutnya yang dapat diteliti adalah latar belakang personal setiap pasangan kawin campur. Meliputi tiga pokok analisis, yaitu 1) kepercayaan; 2) nilai; dan 3) norma. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan kepercayaan, nilai dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi tersebut. Jalalaudin Rakhmat (Mulyana, ed.; 2003: 242) menyebutkan kepercayaan dan nilai termasuk dalam komponen-komponen budaya.

Teori Ketidakpastian dan Kecemasan
Dalam komunikasi antar budaya dikenal dengan sebutan Anxiety Uncertainty Management atau disingkat menjadi AUM.  Teori ini dikembangkan oleh William Gudykunst dari Uncertainty Reduction Theory (URT) versi Charles Berger ketika Gudykunst dan koleganya meneliti cara-cara individu dalam memprediksi lingkungan sosialnya dan mengetahui lebih jauh tentang diri mereka dan orang lain.
Gudykunts (1984 :34) menyebutkan bahwa hal utama ketika kita bertemu dengan orang baru adalah pengurangan ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory atau URT).  Dalam teori ini dikatakan bahwa kita akan mencoba mengurangi ketidakpastian ketika orang yang kita temui akan kita jumpai lagi di masa mendatang, atau ia berperilaku berbeda, dan lain-lain. Maka wajarlah bila dikatakan bahwa kita akan lebih mengurangi ketidakpastian ketika kita berkomunikasi dengan orang asing dari pada ketika kita berkomunikasi dengan seseorang yang sudah akrab (Gudykunst & Kim, 1984: p 34-35 ; Littlejohn, 2002: p. 243; Griffin, 2006: p 426-427). 
Teori Penetrasi Sosial
Pada tahun 1973 teori penetrasi sosial ini dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Adapun asumsi dasar dari teori penetrasi sosial ini adalah: ketika suatu hubungan tertentu antar individu menjadi berkembang, maka komunikasi akan mengalami pergeseran dari asalnya yang dangkal atau tidak intim, menjadi lebih personal atau lebih intim (dalam West & Turner, 2009 : 195).
Perlu digarisbawahi bahwa Teori Penetrasi Sosial tetap memiliki batasan permanen yang menjaga kedekatan hubungan antara individu-individu yang menjalin interaksi. Seperti halnya jika individu terlalu membuka privasinya, maka diwaktu mendatang akan sulit untuk menjaga privasi individu tersebut. Karena ketika informasi diri yang sangat privasi diungkapkan, maka proses menutupi kembali hal-hal yang bersifat privasi akan sangat sulit dilakukan, dan akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukannya.
Thibaut dan Kelley mengembangkan dengan menganalisis konsep untung rugi dalam menelaah suatu interaksi sosial dalam teori penetrasi sosial pada teori pertukaran sosial (sosial exchange). Dalam kajian ini, Thibaut dan Kelley lebih berkosentrasi pada hasil interaksi sosial, kepuasan dalam interaksi Sosial, dan stabilitas interaksi Sosial. Teori penetrasi Sosial berasumsi bahwa kedekatan suatu hubungan tergantung pada analisis untung rugi yang akan diperoleh seseorang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian dasar yang memiliki tujuan untuk mencari pemahaman mengenai suatu masalah (Sutopo, 2002: hal 109 ). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pendekatan interpretif.
Informan dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang beretnis Jawa dan Papua yang hidup bersama dalam ikatan nikah yang sah dan berkediaman di kota Jayapura dan juga para pelaku pernikahan beda budaya ini yang telah bercerai. Informan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya atau dengan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini penulis menggunakan 15 informan yang terdiri dari 5 pasangan dari pasangan harmonis dan 2 pasangan dari pasangan bercerai serta 1 orang janda beretnis Papua yang memiliki mantan suami bertenis Jawa.
Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi langsung dan studi dokumen. Wawancara langsung bersifat terbuka dan luwes yang dilakukan dalam suasana yang informal dan akrab (Nasution, 1992: hal 69-81 dalam Puspowardhani, 2008). Sementara itu observasi langsung yang dilakukan bersifat pasif. Maksudnya, peneliti tidak akan terlibat jauh secara emosional dengan objek yang diteliti. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007: 157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data dokumen dan lain-lain.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Di mana seluruh proses penelitian tidak ditujukan untuk membuktikan suatu hipotesis tetapi untuk mengambil suatu kesimpulan yang bermakna dan sebagai evaluasi atas kasus yang ditemukan di lapangan. Dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menelaah fenomena atau kenyataan sosial dalam suasana yang berlangsung secara wajar atau ilmiah, bukan dalam kondisi yang terkendali atau laboratories sifatnya (Faisal, 1990 :18, dalam Puspowardhani, 2008).

Hasil dan Pembahasan

Hambatan Komunikasi Dalam Perkawinan Etnis Jawa Dengan Papua
Dari penjabaran hasil penelitian mengenai hambatan komunikasi antar budaya dalam perkawinan etnis Jawa dengan Papua maka dapat dibuat matriks mengenai pandangan masing-masing pasangan terhadap etnis pasangannya, yang dapat diurai pada tabel 13 berikut ini :
Tabel 1
Persepsi Pasangan Etnis Papua Terhadap Etnis Jawa
No
Hambatan komunikasi
Pesan yang terungkap
1
Rintangan kerangka berpikir (wawasan dan pendidikan)
Tertutup, cuek jika ada masalah, acuh tak acuh jika sedang berkonflik
2
Persepsi
Pasangan beretnis Jawa cenderung materialistik, katrok, cenderung makan dalam (lain di mulut dan lain di hati),
3
Bahasa verbal
Budaya Jawa sangat memperhatikan sapaan monggo sebagai bentuk meminta izin, logat Jawa cenderung halus, dan terdapat kepatutan kapan yang muda harus ngomong kepada yang lebih tua.
4
Bahasa non verbal
Membungkukkan badan kepada orang yang lebih tua harus diperhatikan sebagai bentuk penghormatan dan pasangan beretnis Jawa saat berdiskusi tidak terlalu senang memperhatikan wajah lawan bicara
Pada tabel 1 tersebut, nampak bagaimana pandangan dari pasangan beretnis Papua terhadap pasangan nya yang beretnis Jawa. Dimana terdapat masalah perspektif tersebut dikarenakan oleh permasalahan hambatan komunikasi baik karena perbedaan kerangka berpikir (wawasan, tingkat pendidikan dan mobilitas), masalah persepsi hingga permasalahan kesalahphaman bahasa baik secara verbal maupun non verbal.
Sementara itu penilaian dari pasangan beretnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis Papua pun tidak luput dari penilaian masing-masing. Berikut pada tabel 14 akan dijabarkan penilaian tentang pasangannya ditinjau dari hambatan komunikasi yang ada :




Tabel 2
Persepsi Pasangan Etnis Jawa Terhadap Etnis Papua
No
Hambatan komunikasi
Pesan yang terungkap
1
Rintangan kerangka berpikir (wawasan dan pendidikan)
Sering meributkan hal-hal kecil, cenderung merendahkan pasangan, sering berbeda pola berpikir
2
Persepsi
Kasar dalam berbicara, susah diatur dan kepala batu
3
Bahasa verbal
Dialek keras, ceplas-ceplos dan cenderung kasar
4
Bahasa non verbal
Pasangan beretnis Papua saat berdiskusi cenderung tidak senang jika sedang mengobrol tidak diperhatikan.
Pada tabel 2 tersebut nampak bagaimana pandangan etnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis Papua, yang ditinjau dari hambatan komunikasi yang ditemui.
Pada tabel 1 dan 2 nampak bagaimana dalam komunikasi antar budaya pada konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri ini berpengaruh pada perilaku komunikasi masing-masing dalam bentuk sikap yang ditunjukkan. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya mempengaruhi perilaku komunikasi dan sebaliknya perilaku komunikasi terpengaruh oleh faktor budaya.
Strategi Manajemen Konflik Interpersonal Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa - Papua
Dalam penelitian ini para informan mengalami masa-masa sulit di dalam pernikahan, terutama pada awal pernikahan mereka. Konflik yang umumnya dialami para informan dipengaruhi oleh perbedaan budaya mereka baik yang bersumber dari perbedaan rintangan kerangka berpikir, persepsi, bahasa verbal dan nonverbal serta hambatan budaya yang terdiri dari masalah stereotipe, etnosentrismen, agama, nilai-nilai dan norma, hingga masalah rintangan  status. Adapun strategi manajemen konflik pasangan beda etnis ini berbeda antara kategori pasangan harmonis dan pasangan yang telah bercerai. Pasangan harmonis cenderung menggunakan strategi manajemen konflik yang produktif seperti win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Sedangkan pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan yang telah bercerai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan hambatan komunikasi dan budaya cenderung menggunakan pendekatan strategi konflik yang tidak produktif yaitu dengan pendekatan face detracting dan verbal aggressiveness, namun ada juga kasus yang diselesaikan dengan pendekatan avoidance (penghindaran).
Berdasarkan hasil penelitian ini, cara penyelesaian konflik dengan pendekatan win-win solution, umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan bersama dan tidak menimbulkan kebencian dari istrinya kepada suaminya maupun sebaliknya dari suami kepada istri hal ini dilakukan dalam bentuk diskusi dan bertukar pikiran. Avoidance atau penghindaran dilakukan oleh pasangan beda etnis ini secara fisik, misalnya seperti menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun. Di sini mereka meninggalkan konflik secara psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Terdapat   dua   tipe penghindaran di dalam menghadapi konflik oleh pasangan beretnis Jawa dengan Papua ini, yang pertama penghindaran dilakukan untuk menenangkan diri agar mereka dapat berpikir dengan  benar. Penghindaran yang kedua dilakukan karena memang mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini karena ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik. Apabila konflik tidak dihindari maka akan berisiko terhadap  perpecahan.
Dalam penelitian ini pendekatan force and talk strategies merupakan pendekatan dalam penyelesaian konflik yang banyak digunakan pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori keluarga harmonis. Pendekatan ini dilakukan dengan bentuk menunjukkan sikap keterbukaan, sikap positif, saling mendukung, dan   empati   yang umumnya dinilai sebagai titik  awal yang  cocok  untuk  menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang baik adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.
Berdasarkan hasil penelitian pada strategi manajemen konflik yang tidak produktif, yang banyak digunakan pasangan-pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan cerai ditemukan dalam bentuk face detracting, yang ditemukan dalam konflik karena  adanya ketidakpercayaan, merendahkan  pasangan,  dan  lain-lain. Selain itu ditemukan juga strategi manajemen konflik tidak produktif dari pasangan cerai ini dalam bentuk verbal aggressiveness, dimana gejalanya adalah salah satu pasangan berusaha memenangkan pendapatnya dengan menyakiti perasaan pasangan biasanya dalam bentuk kekerasan verbal berupa makian, dan kata-kata yang kasar dan agresif. 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang terbuka satu sama lain belum tentu dapat mengurangi terjadinya konflik dalam rumah tangga, tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif, otoriter dan rasis memberi kontribusi terhadap munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan etnis Jawa dengan Papua. Sebagaimana tampak pada tabel 1 berikut :
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kendala-kendala dan benturan-benturan komunikasi yang berupa hambatan komunikasi baik berupa rintangan kerangka berpikir, persepsi, hingga perbedaan bahasa dan kesalah pahaman non verbal karena adanya perbedaan budaya yang merujuk pada terjadinya sumber konflik dalam konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua baik dari kategori keluarga harmonis maupun dari kategori pasangan yang telah bercerai.
Hambatan komunikasi akibat perbedaan kerangka berpikir yang nampak dalam penelitian ini diakibatkan karena perbedaan tingkat pendidikan, pengalaman dan mobilitas, sedangkan hambatan komunikasi yang berupa masalah persepsi dialami oleh mayoritas informan karena adanya persepsi terhadap budaya pasangan dan sebaliknya juga persepsi keluarga besar pasangan terhadap individunya yang dipengaruhi oleh stereotipe yang berkembang antara budaya Jawa dan juga budaya Papua. Sementara itu dalam temuan penelitian ini nampak bahwa ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga etnis Jawa dengan Papua, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya. Berikut hasil penelitian yang menunjukkan gaya komunikasi informan penelitian.




Tabel 3
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Harmonis
No
Sifat
Karakteristik Komunikasi
1
Mengasyikan
Satu sama lain suka bercanda dan saling humoris
2
Memberikan kesan
Menyatakan pendapat dengan berusaha santun
3
Rileks
Tenang dan tetap berusaha menunjukkan sikap nyaman saat berkonflik
4
Penuh perhatian
Pendengar yang baik dan kadang memberikan semangat pada pasangan
5
Terbuka
Saling menyatakan perasaan, saling memberikan informasi secara terbuka
6
Ramah
Selalu memberikan dukungan saat terjadi konflik

Pada tabel 3 di atas nampak bagaimana gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang membentuk karakteristik komunikasinya dari pasangan etnis Jawa dengan Papua dengan kategori keluarga harmonis ini. Sementara itu pada tabel 4 nampak bagaimana sebaliknya gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang kemudian membentuk karakteristik komunikasi dari pasangan etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai, seperti nampak pada  tabel 4 berikut ini :
Tabel 4
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Telah Bercerai
No
Sifat
Karakteristik Komunikasi
1
Dominasi
Sering berbicara, memotong pembicaraan, koersif, rasis dan menguasai pembicaraan
2
Dramatis
Agresif, menggunakan bahasa kasar dan suka membesar-besarkan masalah
3
Suka bertengkar
Senang berargumen  dan kadang bersifat memusuhi  (suka curiga dan sebagainya)

Dari tabel 4 terlihat bagaimana gaya komunikai  pasangan suami istri dari etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai ini. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa gaya komunikasi  yang terbuka belum tentu dapat mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif, dominasi dan otoriter serta rasis cenderung memberikan kontribusi terhadap munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan beda etnis ini.
Setelah mengidentifikasi dan menganalisa setiap data dari hasil wawancara maka peneliti menguraikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi antar budaya dalam konteks komunikasi antar pribadi dibutuhkan dalam sebuah hubungan interpersonal, intinya bukan saja berbicara, tetapi bagaimana kualitas komunikasi pada pasangan beda etnis ini itu dapat dijaga. Banyak pasangan suami istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Tetapi mereka tidak sadar bahwa dorongan seperti itu muncul karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan komunikasi yang efektif satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara kedua belah pihak yang terjalin dalam ikatan perkawinan, miss communication terjadi antara lain karena adanya perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa miskomunikasi dan konflik dalam rumah tangga etnis Papua dengan Jawa yang sampai pada tahap perceraian lebih disebabkan oleh pemilihan pendekatan gaya komunikasi yang kurang tepat dalam menyikapi berbagai hambatan komunikasi dan budaya yang ada sehingga diperlukan pemahaman yang tepat mengenai pola komunikasi yang efektif, walaupun miscommunication ini hanya merupakan salah satu penyebap diantara berbagai macam alasan dan penyebap perceraian. Disamping itu, agar konflik tidak menjadi bersifat terus menerus dibutuhkan pemahaman atas komunikasi dan kerjasama diantara pasangan suami isteri sehingga tercapai win-win solution dalam menghadapi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tidak seiring sejalan.
Bagaimanapun juga gaya komunikasi yang represif akan selalu menimbulkan reaksi yang negatif. Keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada pasangan beda etnis Papua dengan Jawa (mengontrol, agresif, rasis, koersif, dominasi) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik destruktif.
Pada indikator hambatan komunikasi dalam penelitian ini, konteks yang menyangkut rintangan kerangka berpikir baik yang berkaitan dengan pendidikan, wawasan dan mobilitas menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi sikap pasangan dalam memberikan umpan balik pada setiap kasus yang dihadapi pada hubungan interpersonal mereka, bahkan beberapa pasangan pada awal membina hubungan rumah tangga sempat merasa khawatir, jika perbedan tingkat pendidikan ini dapat mempengaruhi kualitas hubungan interpersonalnya. Namun para informan ini melalui proses penyesuaian yaitu melalui pengembangan hubungan dengan melalui proses pengenalan sikap sejak awal hubungan, menunjukkan sikap terbuka, berpikir positif dan saling memahami satu sama lain akhirnya mampu menyikapi secara bijak hambatan komunikasi ini.
Teori komunikasi dalam hal ini teori penetrasi sosial yang menjelaskan tentang pengembangan hubungan, ternyata sejalan dengan hasil penelitian ini. Hal ini nampak dalam konteks penelitian hubungan suami istri pasangan harmonis ini di mana pada tahap awal atau tahap orientasi sebelum menikah, diawali dengan saling pengenalan lebih dahulu, sementara sang istri, setelah hubungan suami istri semakin lama, pelan-pelan mampu menyesuaikan agar kedepannya kehidupan keluarga lebih mantap dan tetap harmonis.
Salah satu hambatan komunikasi yang juga diteliti berdasarkan kerangka pikir penelitian adalah menyangkut masalah persepsi terhadap keluarga maupun sebaliknya persepsi keluarga terhadap budaya pasangan. Adanya persepsi jika mengarah kepada persepsi negatif tentu akan menghambat ruang komunikasi, jika hal ini terlebih dahulu menjadi faktor kecemasan dan kekhawatiran yang berlebih tanpa ada pembuktian dan alasan yang jelas pada persepsi-persepsi yang ada tentang satu budaya dengan budaya yang lainnya tentu akan mempengaruhi kondisi psikologis para individu ini. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya
Melalui pengenalan lebih jauh pasangan suami istri ini, dengan seiring berjalannya waktu, dan para pelaku komunikasi ini mampu melalui satu tahap ke tahap berikut walaupun pada prosesnya kerap kali menimbulkan konflik dan rasa kecemasan, ketika proses ini mampu dilalui maka terbuka lagi lapisan kulit berikutnya, yang memperlihatkan bagaimana sebetulnya pasangannya, bukan hanya sekedar penilain luar dari persepsi keluarga yang kadang menimbulkan kekhawatiran dan menghambat hubungan interpersonal satu sama lain, tetapi melalui proses pengenalan dan pengungkapan diri masing-masing, pasangan harmonis ini berusaha mencapai tahap stabil dalam hubungan mereka.
Sementara itu masih menyangkut hambatan komunikasi, maka indikator selanjutnya adalah masalah bahasa baik verbal maupun nonverbal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terlihat kecenderungan yang menunjukkan bahwa orang Papua yang masih sering menggunakan bahasa Papua menunjukkan masih ada pola pikir yang kuat akan kebudayaan dan etnisnya dan kurang setuju dengan perkawinan campur. Sebaliknya mereka yang tidak lagi menggunakan bahasa Papua tidak lagi mempunyai interest yang kuat pada kebudayaannya. Mereka akan cenderung beralih perhatiannya pada kebudayaan dan oleh karenanya mereka akan cenderung menerima perkawinan dengan etnis yang lain.
Kesalahpahaman dalam berbahasa dalam penelitian ini umumnya disebabkan karena adanya perbedaan cara pengucapan, logat, dan nada bicara. Dalam penelitian ini, jika etnis Jawa, seseorang berbicara dengan nada yang halus dan ketika berbicara dengan nada tinggi, maka akan dianggap tidak memiliki tata krama sedangkan etnis Papua dalam penelitian ini mereka terbiasa berbicara dengan nada keras dan cepat. Maka ketika dua orang yang berasal dari kedua daerah ini bertemu dan berbicara, kecenderungan untuk terjadi kesalahpahaman akan lebih besar. Perbedaan karakter ini juga yang mempengaruhi kondisi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Kesimpulan
Rintangan komunikasi yang terjadi antara pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua terutama terletak pada kerangka berpikir, persepsi dan bahasa. Rintangan kerangka berpikir karena adanya perbedaan pendidikan, wawasan dan mobilitas, sedangkan dari segi persepsi disebapkan karena faktor budaya dalam bentuk  stereotipe, etnosentrisme, nilai dan norma. Adapun faktor bahasa karena perbedaan makna atas simbol-simbol bahasa yang digunakan baik verbal maupun nonverbal. Terdapat hambatan budaya yang dipengaruhi rasa ketidakpastian dalam berkomunikasi yang kemudian awalnya menimbulkan rasa ketidaknyamana karena pertemuan dua budaya yang berbeda hal ini sejalan dengan asumsi teori Kecemasan dan Ketidakpastian.
Strategi manajemen konflik yang digunakan oleh pasangan-pasangan suami istri antara etnis Jawa dengan Papua yang hidup rukun dan harmonis adalah win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Win-win strategis (dalam berdilaog ,mencari solusi bersama), avoidance (menghindari masalah untuk tidak memperkeruh keadaan dan menenangkan pikiran), force and talk strategies (empati, simpati, support, trust, terbuka). Bagi pasangan suami istri yang bercerai cenderung menggunakan  strategi konflik tidak produktif, yakni face detracing strategies ( merendahkan pasangan, tidak saling percaya) dan verbal aggressiveness (kekerasan verbal, makian, otoriter).

Daftar Pustaka
Cangara, Hafied. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Dodd, Carley H. 1998. Dynamics of Intercultural Communication (Fifth Edition). USA : The McGraw-Hill Companies, Inc
Gudykunts, William B, Kim, Young Yun. (1984). Methods For Interculture Communication Research, Sage Publication.
Liliweri. Alo. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Martin,  Judith  N.,  &  Thomas  K.  Nakayama. 2007.  Intercultural  Communication  in Contexts (Third Edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosadakarya.
Mulyana, D dan Rachmat, Jalauddin. 2006. (Editor) Komunikasi Antar Budaya. Panduan berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Remaja. Bandung:  Rosadakarya.
Puspowardhani, Rulliyanti. 2008. Komunikasi Antar Budaya Dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Rahardjo, Turnomo.2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalauddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Samovar. AL, Porter ER dan Mcdaniel RE. 2010. Komunikasi Lintas Budaya, Terjemahan oleh Indri Margaretha Sidabalok: Salemba Humanika
Sutopo.( 2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Verderber, Rudolph F, dan Kathleen S. Verderber. 1998. Inter-Act Using Interpersonal Communication Skill. California: Wadsworth Publishing Company.




komunikasi antar budaya dalam perkawinan dan perceraian etnis jawa dengan papua di kota jayapura

Rostini Anwar

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sains dan Teknologi Jayapura

ABSTRACT
The research aims to (1) identify the barriers of communication between the pair of Javanese culture with Papua, which is still in wedlock or from couples who have divorced, (2) analyzing conflict management strategies in interpersonal relationships Javanese couples with Papua in addressing existing conflicts. Research using interpretive approach to qualitative research methods. Data obtained by conducting in-depth interviews with 15 informants, which consists of 5 couples who still harmony in marriage and two pairs ex-husband and wife who have been divorced, and 1 widow of marriage Javanese settled Papua in Jayapura. Based on the results of the study indicate that many married couples of different ethnic Papuans with Java, which tends to want to show the characteristic of the culture of self respective dominant one another. One source of conflict is due to misscommunication between two parties resulting from differences in ethnicity and its difficult to adjust the condition. This study shows that openness of communication between couples who either can not necessarily reduce the intensity of the conflict escalation process in a marital relationship. Factors communication style in Javanese with Papua (controlling, aggressive, coercive, domination and racist) contribute to determining the appearance of conflict. The ultimate solution is that they form a bond strong commitment and understanding of the need for diversity.
Keywords: Barriers to Intercultural Communication, Interpersonal Relations, Conflict Management Strategies
ABSTRAK
Penelitian bertujuan (1) mengidentifikasi rintangan komunikasi antar budaya pasangan etnis Jawa dengan Papua yang masih dalam ikatan perkawinan maupun dari pasangan yang telah bercerai, (2) menganalisa strategi manajemen konflik dalam hubungan interpersonal pasangan etnis Jawa dengan Papua dalam menyikapi konflik yang ada. Penelitian menggunakan pendekatan interpretatif dengan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan 15 orang informan, yang terdiri dari 5 pasangan suami istri yang masih harmonis dalam ikatan perkawinan dan 2 pasangan mantan suami istri yang telah bercerai, serta 1 orang janda dari perkawinan etnis Jawa dengan Papua yang menetap di Kota Jayapura. Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa banyak pasangan suami istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara kedua belah pihak yang diakibatkan karena perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut. Penelitian ini menunjukkan, keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada etnis Jawa dengan Papua (mengontrol, agresif, koersif, dominasi dan bersifat rasis) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik. Solusi utamanya adalah mereka membentuk ikatan komitmen yang kuat dan perlunya pemahaman akan adanya keberagaman.
Kata kunci : Rintangan Komunikasi Antar Budaya, Hubungan Interpersonal, Strategi Manajemen Konflik

Pendahuluan
Data yang dirilis Pengadilan Agama Kabupaten Merauke, menyebutkan terdapat 3 wilayah di Provinsi Papua dengan tingkat perceraian yang tinggi yaitu Kota Jayapura (ibukota provinsi Papua), Kabupaten Merauke dan Kota Sorong di mana pada tahun 2013 terdapat 200 hingga 350 kasus yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun alasan perceraian tersebut beragam antara lain masalah kecemburuan, masalah ekonomi, masalah sosial budaya dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Memahami budaya khususnya dalam konteks hubungan antar pribadi yang berbeda tentu bukanlah hal yang mudah, karena itu pasangan suami istri dituntut untuk mau mengerti realitas budaya masing-masing dan paham akan adanya keberagaman, hal ini sebagaimana salah satu fungsi komunikasi antar budaya dalam konteks interpersonal relation. Fungsi komunikasi antar pribadi ialah berusaha meningkatkan hubungan insan (human relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2012: hal 68). Konflik yang terjadi di dalamnya adalah konflik interpersonal, yaitu situasi yang terjadi ketika kebutuhan atau ide dari seseorang yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kebutuhan atau ide dari lainnya (Verdeber & Fink, 1998 : hal. 286).
Problem utama yang sering timbul adalah kecenderuangan menganggap budayanya sendiri sebagai sesuatu kemestian tanpa mempersoalkan lagi dan karenanya menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya pasangan atau bersifat etnosentris. Etnosetrisme adalah memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (dalam Gudykunst dan Kim,1984: hal 51-52).
Membangun hubungan interpersonal yang efektif dalam pernikahan beda budaya bukanlah hal yang sederhana. Hal ini juga terjadi bagi pasangan dari kaum transmigran di Papua yang didominasi orang-orang dari etnis Jawa yang menikah dengan penduduk lokal (orang asli papua). Tidak dipungkiri bahwa etnis Jawa yang semakin banyak bermukim di Papua bukan saja membawa dampak pembangunan namun juga membawa dampak sosial budaya pada adanya pernikahan pendatang dengan warga pribumi. Rintangan komunikasi antar budaya dari pasangan beda etnis ini pun menjadi sangat rumit, mengingat begitu banyak hambatan-hambatan komunikasi dan hambatan budaya yang kemudian penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkajinya lebih jauh. Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan berbeda budaya, studi pengalaman bagi pasangan yang telah melakukan pernikahan beda budaya maupun sebagai bahan kajian dalam konsultasi permasalahan keluarga sehingga ditemukan strategi manajemen konflik yang tepat dalam mencapai komunikasi antar budaya yang efektif pada pasangan suami istri sehingga tingkat perceraian yang terjadi di Provinsi Papua khususnya di Kota Jayapura dapat diminimalisir.
Tinjauan Pustaka
Komunikasi

                Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia mengemukakan komunikasi adalah suatu tranksaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan  membangun hubungan antar sesama manusia, melalui pertukaran informasi, untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (dalam Cangara, 2012 : 21).
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2004: 5).

Komunikasi Antar Budya
            Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam Liliweri, 2003: 11).
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.
Fungsi komunikasi antar budaya menurut Liliweri (2003: 11-12,36-42)  terdiri dari fungsi pribadi dan fungsi social. Fungsi pribadi diantaranya untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial, menambah pengetahuan. Sedangkan fungsi sosial diantaranya fungsi pengawasan, fungsi menjembatani, fungsi sosialisasi nilai, dan fungsi menghibur . Dalam Liliweri (2011 : 43) terdapat tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya, yaitu sebagai berikut:
yaitu:
1)     Komunikator.
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, nilai dan norma, penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.
2)     Komunikan.
Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu.  Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu benar  dan baik; dan (3) tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.
3)     Pesan
Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol.
4)     Media
Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, media elektronik dan tatap muka.
5)     Efek.
Efek/umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
6)     Suasana.
Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu, serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung.
7)     Gangguan.
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan.
 Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena perbedaan budaya, status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal (dalam Liliweri, 2003: 25-31). 
Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaa
                                                         
Hambatan Komunikasi Antar Budaya
Hambatan dapat diartikan sebagai halangan atau rintangan yang dialami (Badudu-Zain, 1994:489). Memahami secara jelas dan komprehensip berbagai hambatan maupun rintangan dalam komunikasi antar budaya adalah jembatan ke arah perwujudan komunikasi antar budaya yang efektif (Raharjo, 2005 : 56).
Hambatan komunikasi dalam komunikasi antar budaya mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai, dan grup cabang (Rahmat, 2009, p. 11 – 12):.
Hambatan komunikasi yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan tersebut adalah (dalam Chaney, 2002, p. 11 – 12): Fisik (Physical- kebutuhan diri), budaya, persepsi, pengalaman, emosi, bahasa dan nonverbal
Mengenai hambatan komunikasi, gangguan dan rintangan komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam (dalam Cangara : 2012: 167), yakni :
1)      Gangguan teknis, yaitu terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi melalui saluran mengalami kerusakan
2)      Gangguan semantik, yaitu gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada bahasa yang digunakan. Gangguan semantik sering terjadi karena:        
a.     Kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing sehingga sulit dimengerti oleh khalayak tertentu.
b.    Bahasa yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang  digunakan oleh penerima.
c.     Struktur bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya,  sehingga membingungkan penerima.
d.    Latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan.
3)   Gangguan psikologis, yaitu terjadi karena adanya gangguan yang  disebabkan oleh persoalan-persoalan dalam diri individu.
4)   Rintangan fisik atau organik, yaitu rintangan yang disebabkan karena kondisi geografis.
5)   Rintangan status, yaitu rintangan yang disebabkan karena jarak sosial di antara peserta komunikasi, misalnya perbedaan status antara senior dan yunior atau atasan dan bawahan.
6)   Rintangan kerangka berpikir, yaitu rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. Ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda.
7)   Rintangan budaya, yaitu rintangan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma, kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi, hambatan dan persoalan Dodd (1998: 70-71) menggolongkannya ke dalam delapan kategori:
1)     Efek Romeo dan Juliet
Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.
2)     Peran yang diharapkan
beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para isteri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi.
3)     Gangguan dari keluarga besar
Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya.
4)      Budaya kolektif-individualistik
Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.
5)      Bahasa dan kesalahpahaman
Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya.
6)      Model konflik
Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.
7)     Cara membesarkan anak
Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak.
8)     Pandangan negatif dari komunitas
Hal ini bisa menyangkut masalah stereotype, prasangka hingga etnosentrisme yang kemudian mejadi rintangan dalam komunikasi antar budaya dari pasangan masing-masing. 
9)     Sistem kepercayaan,  Nilai dan Norma
Konsep berikutnya yang dapat diteliti adalah latar belakang personal setiap pasangan kawin campur. Meliputi tiga pokok analisis, yaitu 1) kepercayaan; 2) nilai; dan 3) norma. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan kepercayaan, nilai dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi tersebut. Jalalaudin Rakhmat (Mulyana, ed.; 2003: 242) menyebutkan kepercayaan dan nilai termasuk dalam komponen-komponen budaya.

Teori Ketidakpastian dan Kecemasan
Dalam komunikasi antar budaya dikenal dengan sebutan Anxiety Uncertainty Management atau disingkat menjadi AUM.  Teori ini dikembangkan oleh William Gudykunst dari Uncertainty Reduction Theory (URT) versi Charles Berger ketika Gudykunst dan koleganya meneliti cara-cara individu dalam memprediksi lingkungan sosialnya dan mengetahui lebih jauh tentang diri mereka dan orang lain.
Gudykunts (1984 :34) menyebutkan bahwa hal utama ketika kita bertemu dengan orang baru adalah pengurangan ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory atau URT).  Dalam teori ini dikatakan bahwa kita akan mencoba mengurangi ketidakpastian ketika orang yang kita temui akan kita jumpai lagi di masa mendatang, atau ia berperilaku berbeda, dan lain-lain. Maka wajarlah bila dikatakan bahwa kita akan lebih mengurangi ketidakpastian ketika kita berkomunikasi dengan orang asing dari pada ketika kita berkomunikasi dengan seseorang yang sudah akrab (Gudykunst & Kim, 1984: p 34-35 ; Littlejohn, 2002: p. 243; Griffin, 2006: p 426-427). 
Teori Penetrasi Sosial
Pada tahun 1973 teori penetrasi sosial ini dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Adapun asumsi dasar dari teori penetrasi sosial ini adalah: ketika suatu hubungan tertentu antar individu menjadi berkembang, maka komunikasi akan mengalami pergeseran dari asalnya yang dangkal atau tidak intim, menjadi lebih personal atau lebih intim (dalam West & Turner, 2009 : 195).
Perlu digarisbawahi bahwa Teori Penetrasi Sosial tetap memiliki batasan permanen yang menjaga kedekatan hubungan antara individu-individu yang menjalin interaksi. Seperti halnya jika individu terlalu membuka privasinya, maka diwaktu mendatang akan sulit untuk menjaga privasi individu tersebut. Karena ketika informasi diri yang sangat privasi diungkapkan, maka proses menutupi kembali hal-hal yang bersifat privasi akan sangat sulit dilakukan, dan akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukannya.
Thibaut dan Kelley mengembangkan dengan menganalisis konsep untung rugi dalam menelaah suatu interaksi sosial dalam teori penetrasi sosial pada teori pertukaran sosial (sosial exchange). Dalam kajian ini, Thibaut dan Kelley lebih berkosentrasi pada hasil interaksi sosial, kepuasan dalam interaksi Sosial, dan stabilitas interaksi Sosial. Teori penetrasi Sosial berasumsi bahwa kedekatan suatu hubungan tergantung pada analisis untung rugi yang akan diperoleh seseorang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian dasar yang memiliki tujuan untuk mencari pemahaman mengenai suatu masalah (Sutopo, 2002: hal 109 ). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pendekatan interpretif.
Informan dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang beretnis Jawa dan Papua yang hidup bersama dalam ikatan nikah yang sah dan berkediaman di kota Jayapura dan juga para pelaku pernikahan beda budaya ini yang telah bercerai. Informan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya atau dengan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini penulis menggunakan 15 informan yang terdiri dari 5 pasangan dari pasangan harmonis dan 2 pasangan dari pasangan bercerai serta 1 orang janda beretnis Papua yang memiliki mantan suami bertenis Jawa.
Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi langsung dan studi dokumen. Wawancara langsung bersifat terbuka dan luwes yang dilakukan dalam suasana yang informal dan akrab (Nasution, 1992: hal 69-81 dalam Puspowardhani, 2008). Sementara itu observasi langsung yang dilakukan bersifat pasif. Maksudnya, peneliti tidak akan terlibat jauh secara emosional dengan objek yang diteliti. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007: 157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data dokumen dan lain-lain.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Di mana seluruh proses penelitian tidak ditujukan untuk membuktikan suatu hipotesis tetapi untuk mengambil suatu kesimpulan yang bermakna dan sebagai evaluasi atas kasus yang ditemukan di lapangan. Dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menelaah fenomena atau kenyataan sosial dalam suasana yang berlangsung secara wajar atau ilmiah, bukan dalam kondisi yang terkendali atau laboratories sifatnya (Faisal, 1990 :18, dalam Puspowardhani, 2008).

Hasil dan Pembahasan

Hambatan Komunikasi Dalam Perkawinan Etnis Jawa Dengan Papua
Dari penjabaran hasil penelitian mengenai hambatan komunikasi antar budaya dalam perkawinan etnis Jawa dengan Papua maka dapat dibuat matriks mengenai pandangan masing-masing pasangan terhadap etnis pasangannya, yang dapat diurai pada tabel 13 berikut ini :
Tabel 1
Persepsi Pasangan Etnis Papua Terhadap Etnis Jawa
No
Hambatan komunikasi
Pesan yang terungkap
1
Rintangan kerangka berpikir (wawasan dan pendidikan)
Tertutup, cuek jika ada masalah, acuh tak acuh jika sedang berkonflik
2
Persepsi
Pasangan beretnis Jawa cenderung materialistik, katrok, cenderung makan dalam (lain di mulut dan lain di hati),
3
Bahasa verbal
Budaya Jawa sangat memperhatikan sapaan monggo sebagai bentuk meminta izin, logat Jawa cenderung halus, dan terdapat kepatutan kapan yang muda harus ngomong kepada yang lebih tua.
4
Bahasa non verbal
Membungkukkan badan kepada orang yang lebih tua harus diperhatikan sebagai bentuk penghormatan dan pasangan beretnis Jawa saat berdiskusi tidak terlalu senang memperhatikan wajah lawan bicara
Pada tabel 1 tersebut, nampak bagaimana pandangan dari pasangan beretnis Papua terhadap pasangan nya yang beretnis Jawa. Dimana terdapat masalah perspektif tersebut dikarenakan oleh permasalahan hambatan komunikasi baik karena perbedaan kerangka berpikir (wawasan, tingkat pendidikan dan mobilitas), masalah persepsi hingga permasalahan kesalahphaman bahasa baik secara verbal maupun non verbal.
Sementara itu penilaian dari pasangan beretnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis Papua pun tidak luput dari penilaian masing-masing. Berikut pada tabel 14 akan dijabarkan penilaian tentang pasangannya ditinjau dari hambatan komunikasi yang ada :




Tabel 2
Persepsi Pasangan Etnis Jawa Terhadap Etnis Papua
No
Hambatan komunikasi
Pesan yang terungkap
1
Rintangan kerangka berpikir (wawasan dan pendidikan)
Sering meributkan hal-hal kecil, cenderung merendahkan pasangan, sering berbeda pola berpikir
2
Persepsi
Kasar dalam berbicara, susah diatur dan kepala batu
3
Bahasa verbal
Dialek keras, ceplas-ceplos dan cenderung kasar
4
Bahasa non verbal
Pasangan beretnis Papua saat berdiskusi cenderung tidak senang jika sedang mengobrol tidak diperhatikan.
Pada tabel 2 tersebut nampak bagaimana pandangan etnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis Papua, yang ditinjau dari hambatan komunikasi yang ditemui.
Pada tabel 1 dan 2 nampak bagaimana dalam komunikasi antar budaya pada konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri ini berpengaruh pada perilaku komunikasi masing-masing dalam bentuk sikap yang ditunjukkan. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya mempengaruhi perilaku komunikasi dan sebaliknya perilaku komunikasi terpengaruh oleh faktor budaya.
Strategi Manajemen Konflik Interpersonal Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa - Papua
Dalam penelitian ini para informan mengalami masa-masa sulit di dalam pernikahan, terutama pada awal pernikahan mereka. Konflik yang umumnya dialami para informan dipengaruhi oleh perbedaan budaya mereka baik yang bersumber dari perbedaan rintangan kerangka berpikir, persepsi, bahasa verbal dan nonverbal serta hambatan budaya yang terdiri dari masalah stereotipe, etnosentrismen, agama, nilai-nilai dan norma, hingga masalah rintangan  status. Adapun strategi manajemen konflik pasangan beda etnis ini berbeda antara kategori pasangan harmonis dan pasangan yang telah bercerai. Pasangan harmonis cenderung menggunakan strategi manajemen konflik yang produktif seperti win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Sedangkan pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan yang telah bercerai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan hambatan komunikasi dan budaya cenderung menggunakan pendekatan strategi konflik yang tidak produktif yaitu dengan pendekatan face detracting dan verbal aggressiveness, namun ada juga kasus yang diselesaikan dengan pendekatan avoidance (penghindaran).
Berdasarkan hasil penelitian ini, cara penyelesaian konflik dengan pendekatan win-win solution, umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan bersama dan tidak menimbulkan kebencian dari istrinya kepada suaminya maupun sebaliknya dari suami kepada istri hal ini dilakukan dalam bentuk diskusi dan bertukar pikiran. Avoidance atau penghindaran dilakukan oleh pasangan beda etnis ini secara fisik, misalnya seperti menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun. Di sini mereka meninggalkan konflik secara psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Terdapat   dua   tipe penghindaran di dalam menghadapi konflik oleh pasangan beretnis Jawa dengan Papua ini, yang pertama penghindaran dilakukan untuk menenangkan diri agar mereka dapat berpikir dengan  benar. Penghindaran yang kedua dilakukan karena memang mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini karena ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik. Apabila konflik tidak dihindari maka akan berisiko terhadap  perpecahan.
Dalam penelitian ini pendekatan force and talk strategies merupakan pendekatan dalam penyelesaian konflik yang banyak digunakan pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori keluarga harmonis. Pendekatan ini dilakukan dengan bentuk menunjukkan sikap keterbukaan, sikap positif, saling mendukung, dan   empati   yang umumnya dinilai sebagai titik  awal yang  cocok  untuk  menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang baik adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.
Berdasarkan hasil penelitian pada strategi manajemen konflik yang tidak produktif, yang banyak digunakan pasangan-pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan cerai ditemukan dalam bentuk face detracting, yang ditemukan dalam konflik karena  adanya ketidakpercayaan, merendahkan  pasangan,  dan  lain-lain. Selain itu ditemukan juga strategi manajemen konflik tidak produktif dari pasangan cerai ini dalam bentuk verbal aggressiveness, dimana gejalanya adalah salah satu pasangan berusaha memenangkan pendapatnya dengan menyakiti perasaan pasangan biasanya dalam bentuk kekerasan verbal berupa makian, dan kata-kata yang kasar dan agresif. 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang terbuka satu sama lain belum tentu dapat mengurangi terjadinya konflik dalam rumah tangga, tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif, otoriter dan rasis memberi kontribusi terhadap munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan etnis Jawa dengan Papua. Sebagaimana tampak pada tabel 1 berikut :
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kendala-kendala dan benturan-benturan komunikasi yang berupa hambatan komunikasi baik berupa rintangan kerangka berpikir, persepsi, hingga perbedaan bahasa dan kesalah pahaman non verbal karena adanya perbedaan budaya yang merujuk pada terjadinya sumber konflik dalam konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua baik dari kategori keluarga harmonis maupun dari kategori pasangan yang telah bercerai.
Hambatan komunikasi akibat perbedaan kerangka berpikir yang nampak dalam penelitian ini diakibatkan karena perbedaan tingkat pendidikan, pengalaman dan mobilitas, sedangkan hambatan komunikasi yang berupa masalah persepsi dialami oleh mayoritas informan karena adanya persepsi terhadap budaya pasangan dan sebaliknya juga persepsi keluarga besar pasangan terhadap individunya yang dipengaruhi oleh stereotipe yang berkembang antara budaya Jawa dan juga budaya Papua. Sementara itu dalam temuan penelitian ini nampak bahwa ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga etnis Jawa dengan Papua, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya. Berikut hasil penelitian yang menunjukkan gaya komunikasi informan penelitian.




Tabel 3
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Harmonis
No
Sifat
Karakteristik Komunikasi
1
Mengasyikan
Satu sama lain suka bercanda dan saling humoris
2
Memberikan kesan
Menyatakan pendapat dengan berusaha santun
3
Rileks
Tenang dan tetap berusaha menunjukkan sikap nyaman saat berkonflik
4
Penuh perhatian
Pendengar yang baik dan kadang memberikan semangat pada pasangan
5
Terbuka
Saling menyatakan perasaan, saling memberikan informasi secara terbuka
6
Ramah
Selalu memberikan dukungan saat terjadi konflik

Pada tabel 3 di atas nampak bagaimana gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang membentuk karakteristik komunikasinya dari pasangan etnis Jawa dengan Papua dengan kategori keluarga harmonis ini. Sementara itu pada tabel 4 nampak bagaimana sebaliknya gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang kemudian membentuk karakteristik komunikasi dari pasangan etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai, seperti nampak pada  tabel 4 berikut ini :
Tabel 4
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Telah Bercerai
No
Sifat
Karakteristik Komunikasi
1
Dominasi
Sering berbicara, memotong pembicaraan, koersif, rasis dan menguasai pembicaraan
2
Dramatis
Agresif, menggunakan bahasa kasar dan suka membesar-besarkan masalah
3
Suka bertengkar
Senang berargumen  dan kadang bersifat memusuhi  (suka curiga dan sebagainya)

Dari tabel 4 terlihat bagaimana gaya komunikai  pasangan suami istri dari etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai ini. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa gaya komunikasi  yang terbuka belum tentu dapat mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif, dominasi dan otoriter serta rasis cenderung memberikan kontribusi terhadap munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan beda etnis ini.
Setelah mengidentifikasi dan menganalisa setiap data dari hasil wawancara maka peneliti menguraikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi antar budaya dalam konteks komunikasi antar pribadi dibutuhkan dalam sebuah hubungan interpersonal, intinya bukan saja berbicara, tetapi bagaimana kualitas komunikasi pada pasangan beda etnis ini itu dapat dijaga. Banyak pasangan suami istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Tetapi mereka tidak sadar bahwa dorongan seperti itu muncul karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan komunikasi yang efektif satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara kedua belah pihak yang terjalin dalam ikatan perkawinan, miss communication terjadi antara lain karena adanya perbedaan etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa miskomunikasi dan konflik dalam rumah tangga etnis Papua dengan Jawa yang sampai pada tahap perceraian lebih disebabkan oleh pemilihan pendekatan gaya komunikasi yang kurang tepat dalam menyikapi berbagai hambatan komunikasi dan budaya yang ada sehingga diperlukan pemahaman yang tepat mengenai pola komunikasi yang efektif, walaupun miscommunication ini hanya merupakan salah satu penyebap diantara berbagai macam alasan dan penyebap perceraian. Disamping itu, agar konflik tidak menjadi bersifat terus menerus dibutuhkan pemahaman atas komunikasi dan kerjasama diantara pasangan suami isteri sehingga tercapai win-win solution dalam menghadapi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang tidak seiring sejalan.
Bagaimanapun juga gaya komunikasi yang represif akan selalu menimbulkan reaksi yang negatif. Keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya komunikasi pada pasangan beda etnis Papua dengan Jawa (mengontrol, agresif, rasis, koersif, dominasi) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik destruktif.
Pada indikator hambatan komunikasi dalam penelitian ini, konteks yang menyangkut rintangan kerangka berpikir baik yang berkaitan dengan pendidikan, wawasan dan mobilitas menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi sikap pasangan dalam memberikan umpan balik pada setiap kasus yang dihadapi pada hubungan interpersonal mereka, bahkan beberapa pasangan pada awal membina hubungan rumah tangga sempat merasa khawatir, jika perbedan tingkat pendidikan ini dapat mempengaruhi kualitas hubungan interpersonalnya. Namun para informan ini melalui proses penyesuaian yaitu melalui pengembangan hubungan dengan melalui proses pengenalan sikap sejak awal hubungan, menunjukkan sikap terbuka, berpikir positif dan saling memahami satu sama lain akhirnya mampu menyikapi secara bijak hambatan komunikasi ini.
Teori komunikasi dalam hal ini teori penetrasi sosial yang menjelaskan tentang pengembangan hubungan, ternyata sejalan dengan hasil penelitian ini. Hal ini nampak dalam konteks penelitian hubungan suami istri pasangan harmonis ini di mana pada tahap awal atau tahap orientasi sebelum menikah, diawali dengan saling pengenalan lebih dahulu, sementara sang istri, setelah hubungan suami istri semakin lama, pelan-pelan mampu menyesuaikan agar kedepannya kehidupan keluarga lebih mantap dan tetap harmonis.
Salah satu hambatan komunikasi yang juga diteliti berdasarkan kerangka pikir penelitian adalah menyangkut masalah persepsi terhadap keluarga maupun sebaliknya persepsi keluarga terhadap budaya pasangan. Adanya persepsi jika mengarah kepada persepsi negatif tentu akan menghambat ruang komunikasi, jika hal ini terlebih dahulu menjadi faktor kecemasan dan kekhawatiran yang berlebih tanpa ada pembuktian dan alasan yang jelas pada persepsi-persepsi yang ada tentang satu budaya dengan budaya yang lainnya tentu akan mempengaruhi kondisi psikologis para individu ini. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya
Melalui pengenalan lebih jauh pasangan suami istri ini, dengan seiring berjalannya waktu, dan para pelaku komunikasi ini mampu melalui satu tahap ke tahap berikut walaupun pada prosesnya kerap kali menimbulkan konflik dan rasa kecemasan, ketika proses ini mampu dilalui maka terbuka lagi lapisan kulit berikutnya, yang memperlihatkan bagaimana sebetulnya pasangannya, bukan hanya sekedar penilain luar dari persepsi keluarga yang kadang menimbulkan kekhawatiran dan menghambat hubungan interpersonal satu sama lain, tetapi melalui proses pengenalan dan pengungkapan diri masing-masing, pasangan harmonis ini berusaha mencapai tahap stabil dalam hubungan mereka.
Sementara itu masih menyangkut hambatan komunikasi, maka indikator selanjutnya adalah masalah bahasa baik verbal maupun nonverbal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terlihat kecenderungan yang menunjukkan bahwa orang Papua yang masih sering menggunakan bahasa Papua menunjukkan masih ada pola pikir yang kuat akan kebudayaan dan etnisnya dan kurang setuju dengan perkawinan campur. Sebaliknya mereka yang tidak lagi menggunakan bahasa Papua tidak lagi mempunyai interest yang kuat pada kebudayaannya. Mereka akan cenderung beralih perhatiannya pada kebudayaan dan oleh karenanya mereka akan cenderung menerima perkawinan dengan etnis yang lain.
Kesalahpahaman dalam berbahasa dalam penelitian ini umumnya disebabkan karena adanya perbedaan cara pengucapan, logat, dan nada bicara. Dalam penelitian ini, jika etnis Jawa, seseorang berbicara dengan nada yang halus dan ketika berbicara dengan nada tinggi, maka akan dianggap tidak memiliki tata krama sedangkan etnis Papua dalam penelitian ini mereka terbiasa berbicara dengan nada keras dan cepat. Maka ketika dua orang yang berasal dari kedua daerah ini bertemu dan berbicara, kecenderungan untuk terjadi kesalahpahaman akan lebih besar. Perbedaan karakter ini juga yang mempengaruhi kondisi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Kesimpulan
Rintangan komunikasi yang terjadi antara pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua terutama terletak pada kerangka berpikir, persepsi dan bahasa. Rintangan kerangka berpikir karena adanya perbedaan pendidikan, wawasan dan mobilitas, sedangkan dari segi persepsi disebapkan karena faktor budaya dalam bentuk  stereotipe, etnosentrisme, nilai dan norma. Adapun faktor bahasa karena perbedaan makna atas simbol-simbol bahasa yang digunakan baik verbal maupun nonverbal. Terdapat hambatan budaya yang dipengaruhi rasa ketidakpastian dalam berkomunikasi yang kemudian awalnya menimbulkan rasa ketidaknyamana karena pertemuan dua budaya yang berbeda hal ini sejalan dengan asumsi teori Kecemasan dan Ketidakpastian.
Strategi manajemen konflik yang digunakan oleh pasangan-pasangan suami istri antara etnis Jawa dengan Papua yang hidup rukun dan harmonis adalah win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Win-win strategis (dalam berdilaog ,mencari solusi bersama), avoidance (menghindari masalah untuk tidak memperkeruh keadaan dan menenangkan pikiran), force and talk strategies (empati, simpati, support, trust, terbuka). Bagi pasangan suami istri yang bercerai cenderung menggunakan  strategi konflik tidak produktif, yakni face detracing strategies ( merendahkan pasangan, tidak saling percaya) dan verbal aggressiveness (kekerasan verbal, makian, otoriter).

Daftar Pustaka
Cangara, Hafied. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Dodd, Carley H. 1998. Dynamics of Intercultural Communication (Fifth Edition). USA : The McGraw-Hill Companies, Inc
Gudykunts, William B, Kim, Young Yun. (1984). Methods For Interculture Communication Research, Sage Publication.
Liliweri. Alo. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Martin,  Judith  N.,  &  Thomas  K.  Nakayama. 2007.  Intercultural  Communication  in Contexts (Third Edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosadakarya.
Mulyana, D dan Rachmat, Jalauddin. 2006. (Editor) Komunikasi Antar Budaya. Panduan berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Remaja. Bandung:  Rosadakarya.
Puspowardhani, Rulliyanti. 2008. Komunikasi Antar Budaya Dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Rahardjo, Turnomo.2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalauddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Samovar. AL, Porter ER dan Mcdaniel RE. 2010. Komunikasi Lintas Budaya, Terjemahan oleh Indri Margaretha Sidabalok: Salemba Humanika
Sutopo.( 2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Verderber, Rudolph F, dan Kathleen S. Verderber. 1998. Inter-Act Using Interpersonal Communication Skill. California: Wadsworth Publishing Company.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Program Studi Ilmu Perpustakaan FISIP Uncen Gelar Seminar Internasional Bertajuk “Challenges and Developments in Library and Information Sci...