komunikasi antar budaya dalam perkawinan dan perceraian
etnis jawa dengan papua di kota jayapura
Rostini Anwar
Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
Email : rostini.anwar@yahoo.com
ABSTRACT
The
research aims to (1) identify the barriers of communication between the pair of
Javanese culture with Papua, which is still in wedlock or from couples who have
divorced, (2) analyzing conflict management strategies in interpersonal
relationships Javanese couples with Papua in addressing existing conflicts.
Research using interpretive approach to qualitative research methods. Data
obtained by conducting in-depth interviews with 15 informants, which consists
of 5 couples who still harmony in marriage and two pairs ex-husband and wife
who have been divorced, and 1 widow of marriage Javanese settled Papua in
Jayapura. Based on the results of the study indicate that many married couples
of different ethnic Papuans with Java, which tends to want to show the
characteristic of the culture of self respective dominant one another. One
source of conflict is due to misscommunication between two parties resulting
from differences in ethnicity and its difficult to adjust the condition. This
study shows that openness of communication between couples who either can not
necessarily reduce the intensity of the conflict escalation process in a
marital relationship. Factors communication style in Javanese with Papua
(controlling, aggressive, coercive, domination and racist) contribute to
determining the appearance of conflict. The ultimate solution is that they form
a bond strong commitment and understanding of the need for diversity.
Keywords:
Barriers to Intercultural Communication, Interpersonal Relations, Conflict
Management Strategies
ABSTRAK
Penelitian
bertujuan (1) mengidentifikasi rintangan komunikasi antar budaya pasangan etnis
Jawa dengan Papua yang masih dalam ikatan perkawinan maupun dari pasangan yang
telah bercerai, (2) menganalisa strategi manajemen konflik dalam hubungan
interpersonal pasangan etnis Jawa dengan Papua dalam menyikapi konflik yang
ada. Penelitian menggunakan pendekatan interpretatif dengan metode penelitian
kualitatif. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan 15 orang
informan, yang terdiri dari 5 pasangan suami istri yang masih harmonis dalam
ikatan perkawinan dan 2 pasangan mantan suami istri yang telah bercerai, serta
1 orang janda dari perkawinan etnis Jawa dengan Papua yang menetap di Kota
Jayapura. Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa banyak pasangan
suami istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan
ciri khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Salah satu
penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara
kedua belah pihak yang diakibatkan karena perbedaan etnis dan sulit nya
menyesuaikan kondisi tersebut. Penelitian ini menunjukkan, keterbukaan
komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi
intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya
komunikasi pada etnis Jawa dengan Papua (mengontrol, agresif, koersif, dominasi
dan bersifat rasis) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik.
Solusi utamanya adalah mereka membentuk ikatan komitmen yang kuat dan perlunya
pemahaman akan adanya keberagaman.
Kata
kunci
: Rintangan Komunikasi Antar Budaya, Hubungan Interpersonal, Strategi Manajemen
Konflik
Pendahuluan
Data yang dirilis Pengadilan Agama
Kabupaten Merauke, menyebutkan terdapat 3 wilayah di Provinsi Papua dengan
tingkat perceraian yang tinggi yaitu Kota Jayapura (ibukota provinsi Papua),
Kabupaten Merauke dan Kota Sorong di mana pada tahun 2013 terdapat 200 hingga
350 kasus yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun alasan perceraian tersebut beragam antara lain masalah
kecemburuan, masalah ekonomi, masalah sosial budaya dan ketidakharmonisan dalam
rumah tangga. Memahami
budaya khususnya dalam konteks hubungan antar pribadi yang berbeda tentu
bukanlah hal yang mudah, karena itu pasangan suami istri dituntut untuk mau
mengerti realitas budaya masing-masing dan paham akan adanya keberagaman, hal
ini sebagaimana salah satu fungsi komunikasi antar budaya dalam konteks interpersonal relation. Fungsi komunikasi antar pribadi ialah
berusaha meningkatkan hubungan insan (human
relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi
ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang
lain (Cangara, 2012: hal 68). Konflik yang terjadi di dalamnya adalah konflik
interpersonal, yaitu situasi yang terjadi ketika kebutuhan atau ide dari
seseorang yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kebutuhan atau ide
dari lainnya (Verdeber & Fink, 1998 : hal. 286).
Problem utama yang sering timbul adalah kecenderuangan
menganggap budayanya sendiri sebagai sesuatu kemestian tanpa mempersoalkan lagi
dan karenanya menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya pasangan atau
bersifat etnosentris. Etnosetrisme adalah memandang segala sesuatu dalam
kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainya
diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (dalam Gudykunst dan
Kim,1984: hal 51-52).
Membangun
hubungan interpersonal yang efektif dalam pernikahan beda budaya bukanlah hal
yang sederhana. Hal ini juga terjadi bagi pasangan dari kaum transmigran di
Papua yang didominasi orang-orang dari etnis Jawa yang menikah dengan penduduk
lokal (orang asli papua). Tidak dipungkiri bahwa etnis Jawa yang semakin banyak
bermukim di Papua bukan saja membawa dampak pembangunan namun juga membawa
dampak sosial budaya pada adanya pernikahan pendatang dengan warga pribumi. Rintangan komunikasi antar budaya dari pasangan
beda etnis ini pun menjadi sangat rumit, mengingat begitu banyak hambatan-hambatan
komunikasi dan hambatan budaya yang kemudian penulis merasa tertarik untuk
meneliti dan mengkajinya lebih jauh. Penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan berbeda budaya, studi pengalaman
bagi pasangan yang telah melakukan pernikahan beda budaya maupun sebagai bahan
kajian dalam konsultasi permasalahan keluarga sehingga ditemukan strategi
manajemen konflik yang tepat dalam mencapai komunikasi antar budaya yang
efektif pada pasangan suami istri sehingga tingkat perceraian yang terjadi di
Provinsi Papua khususnya di Kota Jayapura dapat diminimalisir.
Tinjauan
Pustaka
Komunikasi
Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi
yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia mengemukakan
komunikasi adalah suatu tranksaksi, proses simbolik yang menghendaki
orang-orang mengatur lingkungannya dengan
membangun hubungan antar sesama manusia, melalui pertukaran informasi,
untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah
sikap dan tingkah laku itu (dalam Cangara, 2012 : 21).
Dalam kehidupan
sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu berinteraksi dengan
orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau budaya lain.
Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan
merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Manusia tidak bisa dikatakan
berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui
pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan
dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2004: 5).
Komunikasi Antar Budya
Charley H. Dood mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi
yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta
(dalam Liliweri, 2003: 11).
Komunikasi
dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya
menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun
turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.
Fungsi komunikasi antar budaya menurut Liliweri (2003: 11-12,36-42) terdiri dari fungsi pribadi dan fungsi social.
Fungsi pribadi diantaranya untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan
integrasi sosial, menambah pengetahuan. Sedangkan fungsi sosial diantaranya
fungsi pengawasan, fungsi menjembatani, fungsi sosialisasi nilai, dan fungsi
menghibur . Dalam Liliweri (2011 : 43) terdapat tujuh unsur dalam proses
komunikasi antarbudaya, yaitu sebagai berikut:
yaitu:
1)
Komunikator.
Komunikator
dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya
dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut
komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung
latar belakang etnis, ras, nilai dan norma, penggunaan bahasa, pandangan
tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dialek, aksen serta nilai
dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.
2) Komunikan.
Komunikan
dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan
tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima
isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa
pesan itu benar dan baik; dan (3)
tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga
mendorong tindakan yang tepat.
3) Pesan
Dalam
proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang
dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol.
4) Media
Dalam
proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan
atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, media elektronik
dan tatap muka.
5) Efek.
Efek/umpan
balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas
pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam
komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide,
pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
6) Suasana.
Salah
satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu,
serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung.
7) Gangguan.
Gangguan
dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat laju
pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi
makna pesan antarbudaya. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan,
pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama
atas pesan.
Gangguan dari komunikator dan komunikan
misalnya karena perbedaan budaya, status sosial, latar belakang pendidikan,
pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa
perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan
tafsir atas pesan non verbal (dalam Liliweri, 2003: 25-31).
Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan
kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong
individu yang terlibat komunikasi antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih
baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang
mempunyai kepercayaa
Hambatan
Komunikasi Antar Budaya
Hambatan dapat diartikan sebagai halangan atau rintangan yang dialami
(Badudu-Zain, 1994:489). Memahami secara jelas
dan komprehensip berbagai hambatan maupun rintangan dalam komunikasi antar
budaya adalah jembatan ke arah perwujudan komunikasi antar budaya yang efektif
(Raharjo, 2005 : 56).
Hambatan komunikasi dalam komunikasi antar budaya mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan
dibawah air (below waterline). Faktor
hambatan komunikasi antar budaya yang berada di bawah air (below waterline)
adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan
semacam ini sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam
ini adalah persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan,
jaringan, nilai, dan grup cabang (Rahmat, 2009, p. 11 – 12):.
Hambatan komunikasi yang
berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena
hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan
tersebut adalah (dalam
Chaney, 2002, p. 11 – 12): Fisik (Physical-
kebutuhan diri), budaya,
persepsi, pengalaman, emosi,
bahasa dan nonverbal
Mengenai hambatan komunikasi, gangguan dan
rintangan komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam (dalam
Cangara : 2012: 167), yakni :
1)
Gangguan
teknis, yaitu terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi
mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi melalui saluran
mengalami kerusakan
2)
Gangguan
semantik, yaitu gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada
bahasa yang digunakan. Gangguan semantik sering terjadi karena:
a.
Kata-kata
yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing sehingga sulit
dimengerti oleh khalayak tertentu.
b.
Bahasa
yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh penerima.
c.
Struktur
bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga membingungkan penerima.
d.
Latar
belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa
yang digunakan.
3)
Gangguan
psikologis, yaitu terjadi karena adanya gangguan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan dalam
diri individu.
4)
Rintangan
fisik atau organik, yaitu rintangan yang disebabkan karena kondisi geografis.
5)
Rintangan
status, yaitu rintangan yang disebabkan karena jarak sosial di antara peserta
komunikasi, misalnya perbedaan status antara senior dan yunior atau atasan dan
bawahan.
6)
Rintangan
kerangka berpikir, yaitu rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi
antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam
berkomunikasi. Ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan
yang berbeda.
7)
Rintangan
budaya, yaitu rintangan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma,
kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi.
Dalam
upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam
kondisi, hambatan dan persoalan Dodd (1998: 70-71) menggolongkannya ke dalam
delapan kategori:
1)
Efek
Romeo dan Juliet
Konsep
ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga
masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan
menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya
kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan
menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.
2)
Peran
yang diharapkan
beberapa
studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya
suaminya. Para isteri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan
penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya
kepuasan dalam berkomunikasi.
3)
Gangguan
dari keluarga besar
Bagi
keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh
keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah
dalam satu budaya.
4)
Budaya kolektif-individualistik
Beberapa
budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung
jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih
memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.
5)
Bahasa dan kesalahpahaman
Ketika
dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin
campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman
terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau
kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri
dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya
dengan budaya lainya.
6)
Model konflik
Perbedaan
dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan
kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks
rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang
berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.
7)
Cara
membesarkan anak
Perilaku
terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang
lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan
yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang
berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan
diberlakukan kepada anak-anak.
8)
Pandangan
negatif dari komunitas
Hal
ini bisa menyangkut masalah stereotype, prasangka hingga etnosentrisme yang
kemudian mejadi rintangan dalam komunikasi antar budaya dari pasangan
masing-masing.
9)
Sistem
kepercayaan, Nilai dan Norma
Konsep berikutnya yang dapat diteliti adalah latar belakang
personal setiap
pasangan kawin campur. Meliputi
tiga pokok analisis, yaitu 1) kepercayaan; 2)
nilai; dan 3) norma. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang
dimiliki oleh masing-masing
budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara
berkomunikasi. Dengan memahami
perbedaan kepercayaan, nilai
dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi
tersebut. Jalalaudin Rakhmat (Mulyana, ed.; 2003: 242) menyebutkan kepercayaan dan
nilai termasuk dalam
komponen-komponen budaya.
Teori Ketidakpastian dan Kecemasan
Dalam
komunikasi antar budaya dikenal dengan sebutan Anxiety Uncertainty Management atau
disingkat menjadi AUM. Teori ini dikembangkan
oleh William Gudykunst dari Uncertainty Reduction Theory
(URT) versi Charles Berger ketika Gudykunst dan koleganya
meneliti cara-cara individu dalam memprediksi lingkungan sosialnya dan
mengetahui lebih jauh tentang diri mereka dan orang lain.
Gudykunts
(1984 :34) menyebutkan bahwa hal utama ketika kita bertemu dengan orang baru
adalah pengurangan ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory
atau URT). Dalam teori ini dikatakan bahwa kita akan mencoba
mengurangi ketidakpastian ketika orang yang kita temui akan kita jumpai lagi di
masa mendatang, atau ia berperilaku berbeda, dan lain-lain. Maka wajarlah bila
dikatakan bahwa kita akan lebih mengurangi ketidakpastian ketika kita
berkomunikasi dengan orang asing dari pada ketika kita berkomunikasi dengan
seseorang yang sudah akrab (Gudykunst & Kim, 1984: p 34-35 ; Littlejohn,
2002: p. 243; Griffin, 2006: p 426-427).
Teori Penetrasi Sosial
Pada tahun 1973 teori penetrasi sosial ini dikembangkan oleh Irwin
Altman dan Dalmas Taylor.
Adapun asumsi dasar dari teori penetrasi sosial ini adalah: ketika suatu
hubungan tertentu antar individu menjadi berkembang, maka komunikasi akan
mengalami pergeseran dari asalnya yang dangkal atau tidak intim, menjadi lebih
personal atau lebih intim (dalam West & Turner, 2009 : 195).
Perlu
digarisbawahi bahwa Teori Penetrasi Sosial tetap memiliki batasan permanen yang
menjaga kedekatan hubungan antara individu-individu yang menjalin interaksi.
Seperti halnya jika individu terlalu membuka privasinya, maka diwaktu mendatang
akan sulit untuk menjaga privasi individu tersebut. Karena ketika informasi
diri yang sangat privasi diungkapkan, maka proses menutupi kembali hal-hal yang
bersifat privasi akan sangat sulit dilakukan, dan akan memerlukan waktu yang
cukup lama untuk melakukannya.
Thibaut
dan Kelley mengembangkan dengan menganalisis konsep untung rugi dalam menelaah
suatu interaksi sosial dalam teori penetrasi sosial pada teori pertukaran
sosial (sosial exchange). Dalam
kajian ini, Thibaut dan Kelley lebih berkosentrasi pada hasil interaksi sosial,
kepuasan dalam interaksi Sosial, dan stabilitas interaksi Sosial. Teori
penetrasi Sosial berasumsi bahwa kedekatan suatu hubungan tergantung pada
analisis untung rugi yang akan diperoleh seseorang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi
penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian dasar yang
memiliki tujuan untuk mencari pemahaman mengenai suatu masalah (Sutopo, 2002:
hal 109 ). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pendekatan interpretif.
Informan
dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang beretnis Jawa dan Papua
yang hidup bersama dalam ikatan nikah yang sah dan berkediaman di kota Jayapura
dan juga para pelaku pernikahan beda budaya ini yang telah bercerai. Informan
dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya atau dengan
teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini penulis menggunakan 15
informan yang terdiri dari 5 pasangan dari pasangan harmonis dan 2 pasangan
dari pasangan bercerai serta 1 orang janda beretnis Papua yang memiliki mantan
suami bertenis Jawa.
Dalam penelitian ini menggunakan
metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi langsung dan studi dokumen.
Wawancara langsung bersifat terbuka dan luwes yang dilakukan dalam suasana yang
informal dan akrab (Nasution, 1992: hal 69-81 dalam Puspowardhani, 2008).
Sementara itu observasi langsung yang dilakukan bersifat pasif. Maksudnya,
peneliti tidak akan terlibat jauh secara emosional dengan objek yang diteliti.
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007: 157) sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
dokumen dan lain-lain.
Penelitian
ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Di mana seluruh proses
penelitian tidak ditujukan untuk membuktikan suatu hipotesis tetapi untuk
mengambil suatu kesimpulan yang bermakna dan sebagai evaluasi atas kasus yang
ditemukan di lapangan. Dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menelaah
fenomena atau kenyataan sosial dalam suasana yang berlangsung secara wajar atau
ilmiah, bukan dalam kondisi yang terkendali atau laboratories sifatnya (Faisal,
1990 :18, dalam Puspowardhani, 2008).
Hasil dan Pembahasan
Hambatan Komunikasi Dalam
Perkawinan Etnis Jawa Dengan Papua
Dari
penjabaran hasil penelitian mengenai hambatan komunikasi antar budaya dalam
perkawinan etnis Jawa dengan Papua maka dapat dibuat matriks mengenai pandangan
masing-masing pasangan terhadap etnis pasangannya, yang dapat diurai pada tabel
13 berikut ini :
Tabel 1
Persepsi Pasangan
Etnis Papua Terhadap Etnis Jawa
No
|
Hambatan komunikasi
|
Pesan yang
terungkap
|
1
|
Rintangan kerangka
berpikir (wawasan dan pendidikan)
|
Tertutup, cuek jika
ada masalah, acuh tak acuh jika sedang berkonflik
|
2
|
Persepsi
|
Pasangan beretnis
Jawa cenderung materialistik, katrok, cenderung makan dalam (lain di mulut
dan lain di hati),
|
3
|
Bahasa verbal
|
Budaya Jawa sangat
memperhatikan sapaan monggo sebagai bentuk meminta izin, logat Jawa cenderung
halus, dan terdapat kepatutan kapan yang muda harus ngomong kepada yang lebih
tua.
|
4
|
Bahasa non verbal
|
Membungkukkan badan
kepada orang yang lebih tua harus diperhatikan sebagai bentuk penghormatan
dan pasangan beretnis Jawa saat berdiskusi tidak terlalu senang memperhatikan
wajah lawan bicara
|
Pada tabel 1
tersebut, nampak bagaimana pandangan dari pasangan beretnis Papua terhadap
pasangan nya yang beretnis Jawa. Dimana terdapat masalah perspektif tersebut
dikarenakan oleh permasalahan hambatan komunikasi baik karena perbedaan
kerangka berpikir (wawasan, tingkat pendidikan dan mobilitas), masalah persepsi
hingga permasalahan kesalahphaman bahasa baik secara verbal maupun non verbal.
Sementara itu
penilaian dari pasangan beretnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis Papua
pun tidak luput dari penilaian masing-masing. Berikut pada tabel 14 akan
dijabarkan penilaian tentang pasangannya ditinjau dari hambatan komunikasi yang
ada :
Tabel 2
Persepsi Pasangan
Etnis Jawa Terhadap Etnis Papua
No
|
Hambatan komunikasi
|
Pesan yang
terungkap
|
1
|
Rintangan kerangka
berpikir (wawasan dan pendidikan)
|
Sering meributkan
hal-hal kecil, cenderung merendahkan pasangan, sering berbeda pola berpikir
|
2
|
Persepsi
|
Kasar dalam
berbicara, susah diatur dan kepala batu
|
3
|
Bahasa verbal
|
Dialek keras,
ceplas-ceplos dan cenderung kasar
|
4
|
Bahasa non verbal
|
Pasangan beretnis
Papua saat berdiskusi cenderung tidak senang jika sedang mengobrol tidak
diperhatikan.
|
Pada tabel 2
tersebut nampak bagaimana pandangan etnis Jawa terhadap pasangannya yang
beretnis Papua, yang ditinjau dari hambatan komunikasi yang ditemui.
Pada tabel 1 dan 2 nampak bagaimana dalam
komunikasi antar budaya pada konteks hubungan interpersonal pasangan suami
istri ini berpengaruh pada perilaku komunikasi masing-masing dalam bentuk sikap
yang ditunjukkan. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya mempengaruhi perilaku
komunikasi dan sebaliknya perilaku komunikasi terpengaruh oleh faktor budaya.
Strategi Manajemen
Konflik Interpersonal Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa - Papua
Dalam penelitian ini para
informan mengalami masa-masa sulit di dalam pernikahan, terutama pada awal pernikahan mereka. Konflik yang umumnya
dialami para informan dipengaruhi oleh perbedaan budaya mereka baik yang bersumber dari perbedaan rintangan
kerangka berpikir, persepsi, bahasa verbal dan nonverbal serta hambatan budaya
yang terdiri dari masalah stereotipe, etnosentrismen, agama, nilai-nilai dan
norma, hingga masalah rintangan status.
Adapun strategi manajemen konflik pasangan beda etnis ini berbeda antara
kategori pasangan harmonis dan pasangan yang telah bercerai. Pasangan harmonis
cenderung menggunakan strategi manajemen konflik yang produktif seperti win-win strategies, avoidance active fighting
strategies dan force and talk strategies.
Sedangkan pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan yang telah
bercerai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan hambatan komunikasi dan
budaya cenderung menggunakan pendekatan strategi konflik yang tidak produktif yaitu dengan pendekatan face detracting
dan verbal aggressiveness, namun ada juga kasus yang diselesaikan dengan pendekatan avoidance (penghindaran).
Berdasarkan
hasil penelitian ini, cara penyelesaian
konflik dengan pendekatan win-win solution, umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan bersama dan tidak menimbulkan kebencian dari istrinya kepada suaminya maupun sebaliknya
dari suami kepada istri hal ini dilakukan dalam bentuk diskusi dan bertukar
pikiran. Avoidance atau penghindaran dilakukan oleh
pasangan beda etnis ini secara fisik,
misalnya seperti
menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun. Di sini mereka
meninggalkan konflik secara
psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Terdapat dua tipe
penghindaran di dalam menghadapi konflik oleh pasangan beretnis Jawa dengan
Papua ini, yang pertama penghindaran dilakukan
untuk menenangkan
diri agar mereka dapat
berpikir dengan benar. Penghindaran yang kedua dilakukan karena memang
mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini karena ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik.
Apabila konflik tidak dihindari
maka akan berisiko
terhadap perpecahan.
Dalam penelitian ini pendekatan force and talk strategies
merupakan pendekatan dalam penyelesaian konflik yang banyak digunakan pasangan
etnis Jawa dengan Papua dari kategori keluarga harmonis. Pendekatan ini
dilakukan dengan bentuk menunjukkan sikap keterbukaan, sikap positif, saling mendukung, dan empati
yang
umumnya dinilai sebagai titik
awal yang cocok untuk menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang baik
adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.
Berdasarkan hasil penelitian pada
strategi manajemen konflik yang tidak produktif, yang banyak digunakan
pasangan-pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan cerai
ditemukan dalam bentuk face detracting, yang ditemukan dalam konflik
karena adanya ketidakpercayaan, merendahkan pasangan, dan
lain-lain.
Selain itu ditemukan juga strategi
manajemen konflik tidak produktif dari pasangan cerai ini dalam bentuk verbal
aggressiveness, dimana
gejalanya adalah salah satu pasangan berusaha memenangkan pendapatnya
dengan menyakiti
perasaan pasangan biasanya dalam bentuk kekerasan verbal
berupa makian, dan kata-kata yang kasar dan agresif.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa strategi komunikasi yang terbuka satu sama lain belum tentu dapat
mengurangi terjadinya konflik dalam rumah tangga, tetapi gaya komunikasi yang
agresif, koersif, otoriter dan rasis memberi kontribusi terhadap munculnya
sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan etnis Jawa dengan
Papua. Sebagaimana tampak pada tabel 1 berikut :
Berdasarkan
hasil penelitian, terdapat kendala-kendala dan
benturan-benturan komunikasi yang berupa hambatan komunikasi baik berupa
rintangan kerangka berpikir, persepsi, hingga perbedaan bahasa dan kesalah
pahaman non verbal karena adanya perbedaan budaya yang merujuk pada terjadinya
sumber konflik dalam konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri
beretnis Jawa dengan Papua baik dari kategori keluarga harmonis maupun dari
kategori pasangan yang telah bercerai.
Hambatan komunikasi akibat perbedaan kerangka berpikir
yang nampak dalam penelitian ini diakibatkan karena perbedaan tingkat
pendidikan, pengalaman dan mobilitas, sedangkan hambatan komunikasi yang berupa
masalah persepsi dialami oleh mayoritas informan karena adanya persepsi
terhadap budaya pasangan dan sebaliknya juga persepsi keluarga besar pasangan
terhadap individunya yang dipengaruhi oleh stereotipe yang berkembang antara
budaya Jawa dan juga budaya Papua. Sementara itu dalam temuan penelitian ini nampak
bahwa ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari
keluarga etnis Jawa dengan Papua, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak
persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai
sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga.
Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya
berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya. Berikut hasil penelitian yang
menunjukkan gaya komunikasi informan penelitian.
Tabel 3
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Harmonis
No
|
Sifat
|
Karakteristik Komunikasi
|
1
|
Mengasyikan
|
Satu sama lain suka bercanda
dan saling humoris
|
2
|
Memberikan kesan
|
Menyatakan pendapat dengan
berusaha santun
|
3
|
Rileks
|
Tenang dan tetap berusaha menunjukkan
sikap nyaman saat berkonflik
|
4
|
Penuh perhatian
|
Pendengar yang baik dan
kadang memberikan semangat pada pasangan
|
5
|
Terbuka
|
Saling menyatakan perasaan,
saling memberikan informasi secara terbuka
|
6
|
Ramah
|
Selalu memberikan dukungan
saat terjadi konflik
|
Pada
tabel 3 di atas nampak bagaimana gaya komunikasi masing-masing individu
terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang membentuk
karakteristik komunikasinya dari pasangan etnis Jawa dengan Papua dengan
kategori keluarga harmonis ini. Sementara itu pada tabel 4 nampak bagaimana
sebaliknya gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya yang
menunjukkan kecenderungan sifat yang kemudian membentuk karakteristik
komunikasi dari pasangan etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai, seperti
nampak pada tabel 4 berikut ini :
Tabel 4
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Telah
Bercerai
No
|
Sifat
|
Karakteristik Komunikasi
|
1
|
Dominasi
|
Sering berbicara, memotong pembicaraan, koersif, rasis dan menguasai
pembicaraan
|
2
|
Dramatis
|
Agresif, menggunakan bahasa kasar dan suka membesar-besarkan masalah
|
3
|
Suka bertengkar
|
Senang berargumen dan kadang
bersifat memusuhi (suka curiga dan
sebagainya)
|
Dari
tabel 4 terlihat bagaimana gaya komunikai
pasangan suami istri dari etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai
ini. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa gaya komunikasi yang terbuka belum tentu dapat mempertahankan
keharmonisan rumah tangga. Tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif,
dominasi dan otoriter serta rasis cenderung memberikan kontribusi terhadap
munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan beda etnis
ini.
Setelah
mengidentifikasi dan menganalisa setiap data dari hasil wawancara maka peneliti
menguraikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi antar
budaya dalam konteks komunikasi antar pribadi dibutuhkan dalam sebuah hubungan
interpersonal, intinya bukan saja berbicara, tetapi bagaimana kualitas
komunikasi pada pasangan beda etnis ini itu dapat dijaga. Banyak pasangan suami istri berbeda etnis Papua
dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri
masing-masing secara dominan satu sama lain. Tetapi mereka tidak sadar bahwa
dorongan seperti itu muncul karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan
komunikasi yang efektif satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik
adalah karena adanya misscommunication diantara
kedua belah pihak yang terjalin dalam ikatan perkawinan, miss communication terjadi antara lain karena adanya perbedaan
etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut.
Berdasarkan hasil
penelitian mengindikasikan bahwa miskomunikasi dan konflik dalam rumah tangga
etnis Papua dengan Jawa yang sampai pada tahap perceraian lebih disebabkan oleh
pemilihan pendekatan gaya komunikasi yang kurang tepat dalam menyikapi berbagai
hambatan komunikasi dan budaya yang ada sehingga diperlukan pemahaman yang
tepat mengenai pola komunikasi yang efektif, walaupun miscommunication ini hanya merupakan salah satu penyebap diantara
berbagai macam alasan dan penyebap perceraian. Disamping itu, agar konflik
tidak menjadi bersifat terus menerus dibutuhkan pemahaman atas komunikasi dan
kerjasama diantara pasangan suami isteri sehingga tercapai win-win solution dalam menghadapi kesenjangan antara harapan dan
kenyataan yang tidak seiring sejalan.
Bagaimanapun juga
gaya komunikasi yang represif akan selalu menimbulkan reaksi yang negatif.
Keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa
mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan.
Faktor gaya komunikasi pada pasangan beda etnis Papua dengan Jawa (mengontrol,
agresif, rasis, koersif, dominasi) memberi kontribusi untuk menentukan
munculnya konflik destruktif.
Pada
indikator hambatan komunikasi dalam penelitian ini, konteks yang menyangkut
rintangan kerangka berpikir baik yang berkaitan dengan pendidikan, wawasan dan
mobilitas menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi sikap
pasangan dalam memberikan umpan balik pada setiap kasus yang dihadapi pada
hubungan interpersonal mereka, bahkan beberapa pasangan pada awal membina
hubungan rumah tangga sempat merasa khawatir, jika perbedan tingkat pendidikan
ini dapat mempengaruhi kualitas hubungan interpersonalnya. Namun para informan ini melalui proses
penyesuaian yaitu melalui pengembangan hubungan dengan melalui proses
pengenalan sikap sejak awal hubungan, menunjukkan sikap terbuka, berpikir
positif dan saling memahami satu sama lain akhirnya mampu menyikapi secara
bijak hambatan komunikasi ini.
Teori komunikasi dalam
hal ini teori penetrasi sosial yang menjelaskan tentang pengembangan hubungan,
ternyata sejalan dengan hasil penelitian ini. Hal ini nampak dalam konteks
penelitian hubungan suami istri pasangan harmonis ini di mana pada tahap awal
atau tahap orientasi sebelum menikah, diawali dengan saling pengenalan lebih
dahulu, sementara sang istri, setelah hubungan suami istri semakin lama,
pelan-pelan mampu menyesuaikan agar kedepannya kehidupan keluarga lebih mantap
dan tetap harmonis.
Salah satu hambatan
komunikasi yang juga diteliti berdasarkan kerangka pikir penelitian adalah
menyangkut masalah persepsi terhadap keluarga maupun sebaliknya persepsi
keluarga terhadap budaya pasangan. Adanya persepsi jika mengarah kepada
persepsi negatif tentu akan menghambat ruang komunikasi, jika hal ini terlebih
dahulu menjadi faktor kecemasan dan kekhawatiran yang berlebih tanpa ada
pembuktian dan alasan yang jelas pada persepsi-persepsi yang ada tentang satu
budaya dengan budaya yang lainnya tentu akan mempengaruhi kondisi psikologis
para individu ini. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya
atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan
keluarga yang menikah dalam satu budaya
Melalui pengenalan lebih jauh
pasangan suami istri ini, dengan seiring berjalannya waktu, dan para pelaku
komunikasi ini mampu melalui satu tahap ke tahap berikut walaupun pada
prosesnya kerap kali menimbulkan konflik dan rasa kecemasan, ketika proses ini
mampu dilalui maka terbuka lagi lapisan kulit berikutnya, yang memperlihatkan
bagaimana sebetulnya pasangannya, bukan hanya sekedar penilain luar dari
persepsi keluarga yang kadang menimbulkan kekhawatiran dan menghambat hubungan
interpersonal satu sama lain, tetapi melalui proses pengenalan dan pengungkapan
diri masing-masing, pasangan harmonis ini berusaha mencapai tahap stabil dalam
hubungan mereka.
Sementara itu masih
menyangkut hambatan komunikasi, maka indikator selanjutnya adalah masalah
bahasa baik verbal maupun nonverbal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
terlihat kecenderungan yang menunjukkan bahwa orang Papua yang masih sering
menggunakan bahasa Papua menunjukkan masih ada pola pikir yang kuat akan
kebudayaan dan etnisnya dan kurang setuju dengan perkawinan campur. Sebaliknya
mereka yang tidak lagi menggunakan bahasa Papua tidak lagi mempunyai interest
yang kuat pada kebudayaannya. Mereka akan cenderung beralih perhatiannya pada
kebudayaan dan oleh karenanya mereka akan cenderung menerima perkawinan dengan
etnis yang lain.
Kesalahpahaman
dalam berbahasa dalam penelitian ini umumnya disebabkan karena adanya perbedaan
cara pengucapan, logat, dan nada bicara. Dalam penelitian ini, jika etnis Jawa, seseorang berbicara
dengan nada yang halus dan ketika berbicara dengan nada tinggi, maka akan dianggap
tidak memiliki tata krama sedangkan etnis Papua dalam penelitian ini mereka
terbiasa berbicara dengan nada keras dan cepat. Maka ketika dua orang yang
berasal dari kedua daerah ini bertemu dan berbicara, kecenderungan untuk
terjadi kesalahpahaman akan lebih besar. Perbedaan
karakter ini juga yang mempengaruhi kondisi seseorang dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
Kesimpulan
Rintangan
komunikasi yang terjadi antara pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua
terutama terletak pada kerangka berpikir, persepsi dan bahasa. Rintangan
kerangka berpikir karena adanya perbedaan pendidikan, wawasan dan mobilitas,
sedangkan dari segi persepsi disebapkan karena faktor budaya dalam bentuk stereotipe, etnosentrisme, nilai dan norma.
Adapun faktor bahasa karena perbedaan makna atas simbol-simbol bahasa yang
digunakan baik verbal maupun nonverbal. Terdapat hambatan budaya yang
dipengaruhi rasa ketidakpastian dalam berkomunikasi yang kemudian awalnya
menimbulkan rasa ketidaknyamana karena pertemuan dua budaya yang berbeda hal
ini sejalan dengan asumsi teori Kecemasan dan Ketidakpastian.
Strategi
manajemen konflik yang digunakan oleh pasangan-pasangan suami istri antara
etnis Jawa dengan Papua yang hidup rukun dan harmonis adalah win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Win-win
strategis (dalam berdilaog ,mencari solusi bersama), avoidance (menghindari masalah untuk tidak memperkeruh keadaan dan
menenangkan pikiran), force and talk
strategies (empati, simpati, support, trust, terbuka). Bagi pasangan suami
istri yang bercerai cenderung menggunakan
strategi konflik tidak produktif, yakni face detracing strategies ( merendahkan pasangan, tidak saling
percaya) dan verbal aggressiveness
(kekerasan verbal, makian, otoriter).
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied.
2012. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Dodd, Carley H.
1998. Dynamics of Intercultural Communication (Fifth Edition). USA : The
McGraw-Hill Companies, Inc
Gudykunts,
William B, Kim, Young Yun. (1984). Methods
For Interculture Communication Research, Sage Publication.
Liliweri. Alo.
2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Martin, Judith N., & Thomas
K.
Nakayama.
2007. Intercultural
Communication
in Contexts (Third Edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Moleong,
Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana,
Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosadakarya.
Mulyana, D dan
Rachmat, Jalauddin. 2006. (Editor) Komunikasi
Antar Budaya. Panduan berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,
Remaja. Bandung: Rosadakarya.
Puspowardhani,
Rulliyanti. 2008. Komunikasi Antar Budaya
Dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta. Tesis tidak
diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Rahardjo,
Turnomo.2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi
Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat,
Jalauddin. 2009. Psikologi Komunikasi.
Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Samovar. AL,
Porter ER dan Mcdaniel RE. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya, Terjemahan oleh Indri Margaretha Sidabalok: Salemba Humanika
Sutopo.( 2002). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Verderber,
Rudolph F, dan Kathleen
S. Verderber.
1998. Inter-Act Using
Interpersonal
Communication Skill. California: Wadsworth
Publishing Company.
komunikasi antar budaya dalam perkawinan dan perceraian
etnis jawa dengan papua di kota jayapura
Rostini Anwar
Dosen Ilmu Komunikasi
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
Email : rostini.anwar@yahoo.com
ABSTRACT
The
research aims to (1) identify the barriers of communication between the pair of
Javanese culture with Papua, which is still in wedlock or from couples who have
divorced, (2) analyzing conflict management strategies in interpersonal
relationships Javanese couples with Papua in addressing existing conflicts.
Research using interpretive approach to qualitative research methods. Data
obtained by conducting in-depth interviews with 15 informants, which consists
of 5 couples who still harmony in marriage and two pairs ex-husband and wife
who have been divorced, and 1 widow of marriage Javanese settled Papua in
Jayapura. Based on the results of the study indicate that many married couples
of different ethnic Papuans with Java, which tends to want to show the
characteristic of the culture of self respective dominant one another. One
source of conflict is due to misscommunication between two parties resulting
from differences in ethnicity and its difficult to adjust the condition. This
study shows that openness of communication between couples who either can not
necessarily reduce the intensity of the conflict escalation process in a
marital relationship. Factors communication style in Javanese with Papua
(controlling, aggressive, coercive, domination and racist) contribute to
determining the appearance of conflict. The ultimate solution is that they form
a bond strong commitment and understanding of the need for diversity.
Keywords:
Barriers to Intercultural Communication, Interpersonal Relations, Conflict
Management Strategies
ABSTRAK
Penelitian
bertujuan (1) mengidentifikasi rintangan komunikasi antar budaya pasangan etnis
Jawa dengan Papua yang masih dalam ikatan perkawinan maupun dari pasangan yang
telah bercerai, (2) menganalisa strategi manajemen konflik dalam hubungan
interpersonal pasangan etnis Jawa dengan Papua dalam menyikapi konflik yang
ada. Penelitian menggunakan pendekatan interpretatif dengan metode penelitian
kualitatif. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan 15 orang
informan, yang terdiri dari 5 pasangan suami istri yang masih harmonis dalam
ikatan perkawinan dan 2 pasangan mantan suami istri yang telah bercerai, serta
1 orang janda dari perkawinan etnis Jawa dengan Papua yang menetap di Kota
Jayapura. Berdasarkan hasil penelitian mengindikasikan bahwa banyak pasangan
suami istri berbeda etnis Papua dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan
ciri khas budaya diri masing-masing secara dominan satu sama lain. Salah satu
penyebab terjadinya konflik adalah karena adanya misscommunication diantara
kedua belah pihak yang diakibatkan karena perbedaan etnis dan sulit nya
menyesuaikan kondisi tersebut. Penelitian ini menunjukkan, keterbukaan
komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa mengurangi
intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan. Faktor gaya
komunikasi pada etnis Jawa dengan Papua (mengontrol, agresif, koersif, dominasi
dan bersifat rasis) memberi kontribusi untuk menentukan munculnya konflik.
Solusi utamanya adalah mereka membentuk ikatan komitmen yang kuat dan perlunya
pemahaman akan adanya keberagaman.
Kata
kunci
: Rintangan Komunikasi Antar Budaya, Hubungan Interpersonal, Strategi Manajemen
Konflik
Pendahuluan
Data yang dirilis Pengadilan Agama
Kabupaten Merauke, menyebutkan terdapat 3 wilayah di Provinsi Papua dengan
tingkat perceraian yang tinggi yaitu Kota Jayapura (ibukota provinsi Papua),
Kabupaten Merauke dan Kota Sorong di mana pada tahun 2013 terdapat 200 hingga
350 kasus yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun alasan perceraian tersebut beragam antara lain masalah
kecemburuan, masalah ekonomi, masalah sosial budaya dan ketidakharmonisan dalam
rumah tangga. Memahami
budaya khususnya dalam konteks hubungan antar pribadi yang berbeda tentu
bukanlah hal yang mudah, karena itu pasangan suami istri dituntut untuk mau
mengerti realitas budaya masing-masing dan paham akan adanya keberagaman, hal
ini sebagaimana salah satu fungsi komunikasi antar budaya dalam konteks interpersonal relation. Fungsi komunikasi antar pribadi ialah
berusaha meningkatkan hubungan insan (human
relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi
ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang
lain (Cangara, 2012: hal 68). Konflik yang terjadi di dalamnya adalah konflik
interpersonal, yaitu situasi yang terjadi ketika kebutuhan atau ide dari
seseorang yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan kebutuhan atau ide
dari lainnya (Verdeber & Fink, 1998 : hal. 286).
Problem utama yang sering timbul adalah kecenderuangan
menganggap budayanya sendiri sebagai sesuatu kemestian tanpa mempersoalkan lagi
dan karenanya menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya pasangan atau
bersifat etnosentris. Etnosetrisme adalah memandang segala sesuatu dalam
kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainya
diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya (dalam Gudykunst dan
Kim,1984: hal 51-52).
Membangun
hubungan interpersonal yang efektif dalam pernikahan beda budaya bukanlah hal
yang sederhana. Hal ini juga terjadi bagi pasangan dari kaum transmigran di
Papua yang didominasi orang-orang dari etnis Jawa yang menikah dengan penduduk
lokal (orang asli papua). Tidak dipungkiri bahwa etnis Jawa yang semakin banyak
bermukim di Papua bukan saja membawa dampak pembangunan namun juga membawa
dampak sosial budaya pada adanya pernikahan pendatang dengan warga pribumi. Rintangan komunikasi antar budaya dari pasangan
beda etnis ini pun menjadi sangat rumit, mengingat begitu banyak hambatan-hambatan
komunikasi dan hambatan budaya yang kemudian penulis merasa tertarik untuk
meneliti dan mengkajinya lebih jauh. Penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan berbeda budaya, studi pengalaman
bagi pasangan yang telah melakukan pernikahan beda budaya maupun sebagai bahan
kajian dalam konsultasi permasalahan keluarga sehingga ditemukan strategi
manajemen konflik yang tepat dalam mencapai komunikasi antar budaya yang
efektif pada pasangan suami istri sehingga tingkat perceraian yang terjadi di
Provinsi Papua khususnya di Kota Jayapura dapat diminimalisir.
Tinjauan
Pustaka
Komunikasi
Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi
yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia mengemukakan
komunikasi adalah suatu tranksaksi, proses simbolik yang menghendaki
orang-orang mengatur lingkungannya dengan
membangun hubungan antar sesama manusia, melalui pertukaran informasi,
untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain, serta berusaha mengubah
sikap dan tingkah laku itu (dalam Cangara, 2012 : 21).
Dalam kehidupan
sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu berinteraksi dengan
orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau budaya lain.
Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan
merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Manusia tidak bisa dikatakan
berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui
pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan
dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2004: 5).
Komunikasi Antar Budya
Charley H. Dood mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi
yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta
(dalam Liliweri, 2003: 11).
Komunikasi
dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya
menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun
turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya.
Fungsi komunikasi antar budaya menurut Liliweri (2003: 11-12,36-42) terdiri dari fungsi pribadi dan fungsi social.
Fungsi pribadi diantaranya untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan
integrasi sosial, menambah pengetahuan. Sedangkan fungsi sosial diantaranya
fungsi pengawasan, fungsi menjembatani, fungsi sosialisasi nilai, dan fungsi
menghibur . Dalam Liliweri (2011 : 43) terdapat tujuh unsur dalam proses
komunikasi antarbudaya, yaitu sebagai berikut:
yaitu:
1)
Komunikator.
Komunikator
dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya
dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut
komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung
latar belakang etnis, ras, nilai dan norma, penggunaan bahasa, pandangan
tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dialek, aksen serta nilai
dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.
2) Komunikan.
Komunikan
dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan
tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima
isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa
pesan itu benar dan baik; dan (3)
tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga
mendorong tindakan yang tepat.
3) Pesan
Dalam
proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang
dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol.
4) Media
Dalam
proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan
atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, media elektronik
dan tatap muka.
5) Efek.
Efek/umpan
balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas
pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam
komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide,
pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
6) Suasana.
Salah
satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu,
serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung.
7) Gangguan.
Gangguan
dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat laju
pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi
makna pesan antarbudaya. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan,
pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama
atas pesan.
Gangguan dari komunikator dan komunikan
misalnya karena perbedaan budaya, status sosial, latar belakang pendidikan,
pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa
perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan
tafsir atas pesan non verbal (dalam Liliweri, 2003: 25-31).
Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan
kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong
individu yang terlibat komunikasi antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih
baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang
mempunyai kepercayaa
Hambatan
Komunikasi Antar Budaya
Hambatan dapat diartikan sebagai halangan atau rintangan yang dialami
(Badudu-Zain, 1994:489). Memahami secara jelas
dan komprehensip berbagai hambatan maupun rintangan dalam komunikasi antar
budaya adalah jembatan ke arah perwujudan komunikasi antar budaya yang efektif
(Raharjo, 2005 : 56).
Hambatan komunikasi dalam komunikasi antar budaya mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Di mana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di atas air (above waterline) dan
dibawah air (below waterline). Faktor
hambatan komunikasi antar budaya yang berada di bawah air (below waterline)
adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan
semacam ini sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam
ini adalah persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan,
jaringan, nilai, dan grup cabang (Rahmat, 2009, p. 11 – 12):.
Hambatan komunikasi yang
berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena
hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan
tersebut adalah (dalam
Chaney, 2002, p. 11 – 12): Fisik (Physical-
kebutuhan diri), budaya,
persepsi, pengalaman, emosi,
bahasa dan nonverbal
Mengenai hambatan komunikasi, gangguan dan
rintangan komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam (dalam
Cangara : 2012: 167), yakni :
1)
Gangguan
teknis, yaitu terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi
mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi melalui saluran
mengalami kerusakan
2)
Gangguan
semantik, yaitu gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada
bahasa yang digunakan. Gangguan semantik sering terjadi karena:
a.
Kata-kata
yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing sehingga sulit
dimengerti oleh khalayak tertentu.
b.
Bahasa
yang digunakan pembicara berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh penerima.
c.
Struktur
bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga membingungkan penerima.
d.
Latar
belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa
yang digunakan.
3)
Gangguan
psikologis, yaitu terjadi karena adanya gangguan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan dalam
diri individu.
4)
Rintangan
fisik atau organik, yaitu rintangan yang disebabkan karena kondisi geografis.
5)
Rintangan
status, yaitu rintangan yang disebabkan karena jarak sosial di antara peserta
komunikasi, misalnya perbedaan status antara senior dan yunior atau atasan dan
bawahan.
6)
Rintangan
kerangka berpikir, yaitu rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi
antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam
berkomunikasi. Ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan
yang berbeda.
7)
Rintangan
budaya, yaitu rintangan yang terjadi disebabkan karena adanya perbedaan norma,
kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi.
Dalam
upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam
kondisi, hambatan dan persoalan Dodd (1998: 70-71) menggolongkannya ke dalam
delapan kategori:
1)
Efek
Romeo dan Juliet
Konsep
ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga
masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan
menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya
kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan
menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.
2)
Peran
yang diharapkan
beberapa
studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya
suaminya. Para isteri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan
penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya
kepuasan dalam berkomunikasi.
3)
Gangguan
dari keluarga besar
Bagi
keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh
keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah
dalam satu budaya.
4)
Budaya kolektif-individualistik
Beberapa
budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung
jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih
memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.
5)
Bahasa dan kesalahpahaman
Ketika
dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin
campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman
terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau
kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Bahasa ini sendiri
dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya berbeda antar satu budaya
dengan budaya lainya.
6)
Model konflik
Perbedaan
dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan
kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks
rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang
berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.
7)
Cara
membesarkan anak
Perilaku
terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang
lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan
yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang
berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan
diberlakukan kepada anak-anak.
8)
Pandangan
negatif dari komunitas
Hal
ini bisa menyangkut masalah stereotype, prasangka hingga etnosentrisme yang
kemudian mejadi rintangan dalam komunikasi antar budaya dari pasangan
masing-masing.
9)
Sistem
kepercayaan, Nilai dan Norma
Konsep berikutnya yang dapat diteliti adalah latar belakang
personal setiap
pasangan kawin campur. Meliputi
tiga pokok analisis, yaitu 1) kepercayaan; 2)
nilai; dan 3) norma. Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang
dimiliki oleh masing-masing
budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara
berkomunikasi. Dengan memahami
perbedaan kepercayaan, nilai
dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi
tersebut. Jalalaudin Rakhmat (Mulyana, ed.; 2003: 242) menyebutkan kepercayaan dan
nilai termasuk dalam
komponen-komponen budaya.
Teori Ketidakpastian dan Kecemasan
Dalam
komunikasi antar budaya dikenal dengan sebutan Anxiety Uncertainty Management atau
disingkat menjadi AUM. Teori ini dikembangkan
oleh William Gudykunst dari Uncertainty Reduction Theory
(URT) versi Charles Berger ketika Gudykunst dan koleganya
meneliti cara-cara individu dalam memprediksi lingkungan sosialnya dan
mengetahui lebih jauh tentang diri mereka dan orang lain.
Gudykunts
(1984 :34) menyebutkan bahwa hal utama ketika kita bertemu dengan orang baru
adalah pengurangan ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory
atau URT). Dalam teori ini dikatakan bahwa kita akan mencoba
mengurangi ketidakpastian ketika orang yang kita temui akan kita jumpai lagi di
masa mendatang, atau ia berperilaku berbeda, dan lain-lain. Maka wajarlah bila
dikatakan bahwa kita akan lebih mengurangi ketidakpastian ketika kita
berkomunikasi dengan orang asing dari pada ketika kita berkomunikasi dengan
seseorang yang sudah akrab (Gudykunst & Kim, 1984: p 34-35 ; Littlejohn,
2002: p. 243; Griffin, 2006: p 426-427).
Teori Penetrasi Sosial
Pada tahun 1973 teori penetrasi sosial ini dikembangkan oleh Irwin
Altman dan Dalmas Taylor.
Adapun asumsi dasar dari teori penetrasi sosial ini adalah: ketika suatu
hubungan tertentu antar individu menjadi berkembang, maka komunikasi akan
mengalami pergeseran dari asalnya yang dangkal atau tidak intim, menjadi lebih
personal atau lebih intim (dalam West & Turner, 2009 : 195).
Perlu
digarisbawahi bahwa Teori Penetrasi Sosial tetap memiliki batasan permanen yang
menjaga kedekatan hubungan antara individu-individu yang menjalin interaksi.
Seperti halnya jika individu terlalu membuka privasinya, maka diwaktu mendatang
akan sulit untuk menjaga privasi individu tersebut. Karena ketika informasi
diri yang sangat privasi diungkapkan, maka proses menutupi kembali hal-hal yang
bersifat privasi akan sangat sulit dilakukan, dan akan memerlukan waktu yang
cukup lama untuk melakukannya.
Thibaut
dan Kelley mengembangkan dengan menganalisis konsep untung rugi dalam menelaah
suatu interaksi sosial dalam teori penetrasi sosial pada teori pertukaran
sosial (sosial exchange). Dalam
kajian ini, Thibaut dan Kelley lebih berkosentrasi pada hasil interaksi sosial,
kepuasan dalam interaksi Sosial, dan stabilitas interaksi Sosial. Teori
penetrasi Sosial berasumsi bahwa kedekatan suatu hubungan tergantung pada
analisis untung rugi yang akan diperoleh seseorang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi
penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian dasar yang
memiliki tujuan untuk mencari pemahaman mengenai suatu masalah (Sutopo, 2002:
hal 109 ). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pendekatan interpretif.
Informan
dalam penelitian ini adalah pasangan suami/istri yang beretnis Jawa dan Papua
yang hidup bersama dalam ikatan nikah yang sah dan berkediaman di kota Jayapura
dan juga para pelaku pernikahan beda budaya ini yang telah bercerai. Informan
dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya atau dengan
teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini penulis menggunakan 15
informan yang terdiri dari 5 pasangan dari pasangan harmonis dan 2 pasangan
dari pasangan bercerai serta 1 orang janda beretnis Papua yang memiliki mantan
suami bertenis Jawa.
Dalam penelitian ini menggunakan
metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi langsung dan studi dokumen.
Wawancara langsung bersifat terbuka dan luwes yang dilakukan dalam suasana yang
informal dan akrab (Nasution, 1992: hal 69-81 dalam Puspowardhani, 2008).
Sementara itu observasi langsung yang dilakukan bersifat pasif. Maksudnya,
peneliti tidak akan terlibat jauh secara emosional dengan objek yang diteliti.
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007: 157) sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
dokumen dan lain-lain.
Penelitian
ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Di mana seluruh proses
penelitian tidak ditujukan untuk membuktikan suatu hipotesis tetapi untuk
mengambil suatu kesimpulan yang bermakna dan sebagai evaluasi atas kasus yang
ditemukan di lapangan. Dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menelaah
fenomena atau kenyataan sosial dalam suasana yang berlangsung secara wajar atau
ilmiah, bukan dalam kondisi yang terkendali atau laboratories sifatnya (Faisal,
1990 :18, dalam Puspowardhani, 2008).
Hasil dan Pembahasan
Hambatan Komunikasi Dalam
Perkawinan Etnis Jawa Dengan Papua
Dari
penjabaran hasil penelitian mengenai hambatan komunikasi antar budaya dalam
perkawinan etnis Jawa dengan Papua maka dapat dibuat matriks mengenai pandangan
masing-masing pasangan terhadap etnis pasangannya, yang dapat diurai pada tabel
13 berikut ini :
Tabel 1
Persepsi Pasangan
Etnis Papua Terhadap Etnis Jawa
No
|
Hambatan komunikasi
|
Pesan yang
terungkap
|
1
|
Rintangan kerangka
berpikir (wawasan dan pendidikan)
|
Tertutup, cuek jika
ada masalah, acuh tak acuh jika sedang berkonflik
|
2
|
Persepsi
|
Pasangan beretnis
Jawa cenderung materialistik, katrok, cenderung makan dalam (lain di mulut
dan lain di hati),
|
3
|
Bahasa verbal
|
Budaya Jawa sangat
memperhatikan sapaan monggo sebagai bentuk meminta izin, logat Jawa cenderung
halus, dan terdapat kepatutan kapan yang muda harus ngomong kepada yang lebih
tua.
|
4
|
Bahasa non verbal
|
Membungkukkan badan
kepada orang yang lebih tua harus diperhatikan sebagai bentuk penghormatan
dan pasangan beretnis Jawa saat berdiskusi tidak terlalu senang memperhatikan
wajah lawan bicara
|
Pada tabel 1
tersebut, nampak bagaimana pandangan dari pasangan beretnis Papua terhadap
pasangan nya yang beretnis Jawa. Dimana terdapat masalah perspektif tersebut
dikarenakan oleh permasalahan hambatan komunikasi baik karena perbedaan
kerangka berpikir (wawasan, tingkat pendidikan dan mobilitas), masalah persepsi
hingga permasalahan kesalahphaman bahasa baik secara verbal maupun non verbal.
Sementara itu
penilaian dari pasangan beretnis Jawa terhadap pasangannya yang beretnis Papua
pun tidak luput dari penilaian masing-masing. Berikut pada tabel 14 akan
dijabarkan penilaian tentang pasangannya ditinjau dari hambatan komunikasi yang
ada :
Tabel 2
Persepsi Pasangan
Etnis Jawa Terhadap Etnis Papua
No
|
Hambatan komunikasi
|
Pesan yang
terungkap
|
1
|
Rintangan kerangka
berpikir (wawasan dan pendidikan)
|
Sering meributkan
hal-hal kecil, cenderung merendahkan pasangan, sering berbeda pola berpikir
|
2
|
Persepsi
|
Kasar dalam
berbicara, susah diatur dan kepala batu
|
3
|
Bahasa verbal
|
Dialek keras,
ceplas-ceplos dan cenderung kasar
|
4
|
Bahasa non verbal
|
Pasangan beretnis
Papua saat berdiskusi cenderung tidak senang jika sedang mengobrol tidak
diperhatikan.
|
Pada tabel 2
tersebut nampak bagaimana pandangan etnis Jawa terhadap pasangannya yang
beretnis Papua, yang ditinjau dari hambatan komunikasi yang ditemui.
Pada tabel 1 dan 2 nampak bagaimana dalam
komunikasi antar budaya pada konteks hubungan interpersonal pasangan suami
istri ini berpengaruh pada perilaku komunikasi masing-masing dalam bentuk sikap
yang ditunjukkan. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya mempengaruhi perilaku
komunikasi dan sebaliknya perilaku komunikasi terpengaruh oleh faktor budaya.
Strategi Manajemen
Konflik Interpersonal Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa - Papua
Dalam penelitian ini para
informan mengalami masa-masa sulit di dalam pernikahan, terutama pada awal pernikahan mereka. Konflik yang umumnya
dialami para informan dipengaruhi oleh perbedaan budaya mereka baik yang bersumber dari perbedaan rintangan
kerangka berpikir, persepsi, bahasa verbal dan nonverbal serta hambatan budaya
yang terdiri dari masalah stereotipe, etnosentrismen, agama, nilai-nilai dan
norma, hingga masalah rintangan status.
Adapun strategi manajemen konflik pasangan beda etnis ini berbeda antara
kategori pasangan harmonis dan pasangan yang telah bercerai. Pasangan harmonis
cenderung menggunakan strategi manajemen konflik yang produktif seperti win-win strategies, avoidance active fighting
strategies dan force and talk strategies.
Sedangkan pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan yang telah
bercerai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan hambatan komunikasi dan
budaya cenderung menggunakan pendekatan strategi konflik yang tidak produktif yaitu dengan pendekatan face detracting
dan verbal aggressiveness, namun ada juga kasus yang diselesaikan dengan pendekatan avoidance (penghindaran).
Berdasarkan
hasil penelitian ini, cara penyelesaian
konflik dengan pendekatan win-win solution, umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan bersama dan tidak menimbulkan kebencian dari istrinya kepada suaminya maupun sebaliknya
dari suami kepada istri hal ini dilakukan dalam bentuk diskusi dan bertukar
pikiran. Avoidance atau penghindaran dilakukan oleh
pasangan beda etnis ini secara fisik,
misalnya seperti
menghindari konflik dengan cara pergi dari area berkonflik, pergi untuk tidur, atau membunyikan suara keras agar tidak mendengar apapun. Di sini mereka
meninggalkan konflik secara
psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Terdapat dua tipe
penghindaran di dalam menghadapi konflik oleh pasangan beretnis Jawa dengan
Papua ini, yang pertama penghindaran dilakukan
untuk menenangkan
diri agar mereka dapat
berpikir dengan benar. Penghindaran yang kedua dilakukan karena memang
mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini karena ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik.
Apabila konflik tidak dihindari
maka akan berisiko
terhadap perpecahan.
Dalam penelitian ini pendekatan force and talk strategies
merupakan pendekatan dalam penyelesaian konflik yang banyak digunakan pasangan
etnis Jawa dengan Papua dari kategori keluarga harmonis. Pendekatan ini
dilakukan dengan bentuk menunjukkan sikap keterbukaan, sikap positif, saling mendukung, dan empati
yang
umumnya dinilai sebagai titik
awal yang cocok untuk menyelesaikan konflik. Selain itu cara yang baik
adalah mendengarkan secara aktif dan terbuka.
Berdasarkan hasil penelitian pada
strategi manajemen konflik yang tidak produktif, yang banyak digunakan
pasangan-pasangan etnis Jawa dengan Papua dari kategori pasangan cerai
ditemukan dalam bentuk face detracting, yang ditemukan dalam konflik
karena adanya ketidakpercayaan, merendahkan pasangan, dan
lain-lain.
Selain itu ditemukan juga strategi
manajemen konflik tidak produktif dari pasangan cerai ini dalam bentuk verbal
aggressiveness, dimana
gejalanya adalah salah satu pasangan berusaha memenangkan pendapatnya
dengan menyakiti
perasaan pasangan biasanya dalam bentuk kekerasan verbal
berupa makian, dan kata-kata yang kasar dan agresif.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa strategi komunikasi yang terbuka satu sama lain belum tentu dapat
mengurangi terjadinya konflik dalam rumah tangga, tetapi gaya komunikasi yang
agresif, koersif, otoriter dan rasis memberi kontribusi terhadap munculnya
sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan etnis Jawa dengan
Papua. Sebagaimana tampak pada tabel 1 berikut :
Berdasarkan
hasil penelitian, terdapat kendala-kendala dan
benturan-benturan komunikasi yang berupa hambatan komunikasi baik berupa
rintangan kerangka berpikir, persepsi, hingga perbedaan bahasa dan kesalah
pahaman non verbal karena adanya perbedaan budaya yang merujuk pada terjadinya
sumber konflik dalam konteks hubungan interpersonal pasangan suami istri
beretnis Jawa dengan Papua baik dari kategori keluarga harmonis maupun dari
kategori pasangan yang telah bercerai.
Hambatan komunikasi akibat perbedaan kerangka berpikir
yang nampak dalam penelitian ini diakibatkan karena perbedaan tingkat
pendidikan, pengalaman dan mobilitas, sedangkan hambatan komunikasi yang berupa
masalah persepsi dialami oleh mayoritas informan karena adanya persepsi
terhadap budaya pasangan dan sebaliknya juga persepsi keluarga besar pasangan
terhadap individunya yang dipengaruhi oleh stereotipe yang berkembang antara
budaya Jawa dan juga budaya Papua. Sementara itu dalam temuan penelitian ini nampak
bahwa ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari
keluarga etnis Jawa dengan Papua, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak
persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai
sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga.
Bahasa ini sendiri dapat berupa pesan verbal dan nonverbal yang tentunya
berbeda antar satu budaya dengan budaya lainya. Berikut hasil penelitian yang
menunjukkan gaya komunikasi informan penelitian.
Tabel 3
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Harmonis
No
|
Sifat
|
Karakteristik Komunikasi
|
1
|
Mengasyikan
|
Satu sama lain suka bercanda
dan saling humoris
|
2
|
Memberikan kesan
|
Menyatakan pendapat dengan
berusaha santun
|
3
|
Rileks
|
Tenang dan tetap berusaha menunjukkan
sikap nyaman saat berkonflik
|
4
|
Penuh perhatian
|
Pendengar yang baik dan
kadang memberikan semangat pada pasangan
|
5
|
Terbuka
|
Saling menyatakan perasaan,
saling memberikan informasi secara terbuka
|
6
|
Ramah
|
Selalu memberikan dukungan
saat terjadi konflik
|
Pada
tabel 3 di atas nampak bagaimana gaya komunikasi masing-masing individu
terhadap pasangannya yang menunjukkan kecenderungan sifat yang membentuk
karakteristik komunikasinya dari pasangan etnis Jawa dengan Papua dengan
kategori keluarga harmonis ini. Sementara itu pada tabel 4 nampak bagaimana
sebaliknya gaya komunikasi masing-masing individu terhadap pasangannya yang
menunjukkan kecenderungan sifat yang kemudian membentuk karakteristik
komunikasi dari pasangan etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai, seperti
nampak pada tabel 4 berikut ini :
Tabel 4
Gaya Komunikasi Pasangan Suami Istri Telah
Bercerai
No
|
Sifat
|
Karakteristik Komunikasi
|
1
|
Dominasi
|
Sering berbicara, memotong pembicaraan, koersif, rasis dan menguasai
pembicaraan
|
2
|
Dramatis
|
Agresif, menggunakan bahasa kasar dan suka membesar-besarkan masalah
|
3
|
Suka bertengkar
|
Senang berargumen dan kadang
bersifat memusuhi (suka curiga dan
sebagainya)
|
Dari
tabel 4 terlihat bagaimana gaya komunikai
pasangan suami istri dari etnis Jawa dengan Papua yang telah bercerai
ini. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa gaya komunikasi yang terbuka belum tentu dapat mempertahankan
keharmonisan rumah tangga. Tetapi gaya komunikasi yang agresif, koersif,
dominasi dan otoriter serta rasis cenderung memberikan kontribusi terhadap
munculnya sejumlah konflik yang terjadi dalam rumah tangga pasangan beda etnis
ini.
Setelah
mengidentifikasi dan menganalisa setiap data dari hasil wawancara maka peneliti
menguraikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi antar
budaya dalam konteks komunikasi antar pribadi dibutuhkan dalam sebuah hubungan
interpersonal, intinya bukan saja berbicara, tetapi bagaimana kualitas
komunikasi pada pasangan beda etnis ini itu dapat dijaga. Banyak pasangan suami istri berbeda etnis Papua
dengan Jawa yang cenderung ingin menampilkan ciri khas budaya diri
masing-masing secara dominan satu sama lain. Tetapi mereka tidak sadar bahwa
dorongan seperti itu muncul karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan
komunikasi yang efektif satu sama lain. Salah satu penyebab terjadinya konflik
adalah karena adanya misscommunication diantara
kedua belah pihak yang terjalin dalam ikatan perkawinan, miss communication terjadi antara lain karena adanya perbedaan
etnis dan sulit nya menyesuaikan kondisi tersebut.
Berdasarkan hasil
penelitian mengindikasikan bahwa miskomunikasi dan konflik dalam rumah tangga
etnis Papua dengan Jawa yang sampai pada tahap perceraian lebih disebabkan oleh
pemilihan pendekatan gaya komunikasi yang kurang tepat dalam menyikapi berbagai
hambatan komunikasi dan budaya yang ada sehingga diperlukan pemahaman yang
tepat mengenai pola komunikasi yang efektif, walaupun miscommunication ini hanya merupakan salah satu penyebap diantara
berbagai macam alasan dan penyebap perceraian. Disamping itu, agar konflik
tidak menjadi bersifat terus menerus dibutuhkan pemahaman atas komunikasi dan
kerjasama diantara pasangan suami isteri sehingga tercapai win-win solution dalam menghadapi kesenjangan antara harapan dan
kenyataan yang tidak seiring sejalan.
Bagaimanapun juga
gaya komunikasi yang represif akan selalu menimbulkan reaksi yang negatif.
Keterbukaan komunikasi antar pasangan suami istri yang baik belum tentu bisa
mengurangi intensitas konflik pada proses eskalasi hubungan dalam perkawinan.
Faktor gaya komunikasi pada pasangan beda etnis Papua dengan Jawa (mengontrol,
agresif, rasis, koersif, dominasi) memberi kontribusi untuk menentukan
munculnya konflik destruktif.
Pada
indikator hambatan komunikasi dalam penelitian ini, konteks yang menyangkut
rintangan kerangka berpikir baik yang berkaitan dengan pendidikan, wawasan dan
mobilitas menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi sikap
pasangan dalam memberikan umpan balik pada setiap kasus yang dihadapi pada
hubungan interpersonal mereka, bahkan beberapa pasangan pada awal membina
hubungan rumah tangga sempat merasa khawatir, jika perbedan tingkat pendidikan
ini dapat mempengaruhi kualitas hubungan interpersonalnya. Namun para informan ini melalui proses
penyesuaian yaitu melalui pengembangan hubungan dengan melalui proses
pengenalan sikap sejak awal hubungan, menunjukkan sikap terbuka, berpikir
positif dan saling memahami satu sama lain akhirnya mampu menyikapi secara
bijak hambatan komunikasi ini.
Teori komunikasi dalam
hal ini teori penetrasi sosial yang menjelaskan tentang pengembangan hubungan,
ternyata sejalan dengan hasil penelitian ini. Hal ini nampak dalam konteks
penelitian hubungan suami istri pasangan harmonis ini di mana pada tahap awal
atau tahap orientasi sebelum menikah, diawali dengan saling pengenalan lebih
dahulu, sementara sang istri, setelah hubungan suami istri semakin lama,
pelan-pelan mampu menyesuaikan agar kedepannya kehidupan keluarga lebih mantap
dan tetap harmonis.
Salah satu hambatan
komunikasi yang juga diteliti berdasarkan kerangka pikir penelitian adalah
menyangkut masalah persepsi terhadap keluarga maupun sebaliknya persepsi
keluarga terhadap budaya pasangan. Adanya persepsi jika mengarah kepada
persepsi negatif tentu akan menghambat ruang komunikasi, jika hal ini terlebih
dahulu menjadi faktor kecemasan dan kekhawatiran yang berlebih tanpa ada
pembuktian dan alasan yang jelas pada persepsi-persepsi yang ada tentang satu
budaya dengan budaya yang lainnya tentu akan mempengaruhi kondisi psikologis
para individu ini. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya
atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan
keluarga yang menikah dalam satu budaya
Melalui pengenalan lebih jauh
pasangan suami istri ini, dengan seiring berjalannya waktu, dan para pelaku
komunikasi ini mampu melalui satu tahap ke tahap berikut walaupun pada
prosesnya kerap kali menimbulkan konflik dan rasa kecemasan, ketika proses ini
mampu dilalui maka terbuka lagi lapisan kulit berikutnya, yang memperlihatkan
bagaimana sebetulnya pasangannya, bukan hanya sekedar penilain luar dari
persepsi keluarga yang kadang menimbulkan kekhawatiran dan menghambat hubungan
interpersonal satu sama lain, tetapi melalui proses pengenalan dan pengungkapan
diri masing-masing, pasangan harmonis ini berusaha mencapai tahap stabil dalam
hubungan mereka.
Sementara itu masih
menyangkut hambatan komunikasi, maka indikator selanjutnya adalah masalah
bahasa baik verbal maupun nonverbal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
terlihat kecenderungan yang menunjukkan bahwa orang Papua yang masih sering
menggunakan bahasa Papua menunjukkan masih ada pola pikir yang kuat akan
kebudayaan dan etnisnya dan kurang setuju dengan perkawinan campur. Sebaliknya
mereka yang tidak lagi menggunakan bahasa Papua tidak lagi mempunyai interest
yang kuat pada kebudayaannya. Mereka akan cenderung beralih perhatiannya pada
kebudayaan dan oleh karenanya mereka akan cenderung menerima perkawinan dengan
etnis yang lain.
Kesalahpahaman
dalam berbahasa dalam penelitian ini umumnya disebabkan karena adanya perbedaan
cara pengucapan, logat, dan nada bicara. Dalam penelitian ini, jika etnis Jawa, seseorang berbicara
dengan nada yang halus dan ketika berbicara dengan nada tinggi, maka akan dianggap
tidak memiliki tata krama sedangkan etnis Papua dalam penelitian ini mereka
terbiasa berbicara dengan nada keras dan cepat. Maka ketika dua orang yang
berasal dari kedua daerah ini bertemu dan berbicara, kecenderungan untuk
terjadi kesalahpahaman akan lebih besar. Perbedaan
karakter ini juga yang mempengaruhi kondisi seseorang dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
Kesimpulan
Rintangan
komunikasi yang terjadi antara pasangan suami istri beretnis Jawa dengan Papua
terutama terletak pada kerangka berpikir, persepsi dan bahasa. Rintangan
kerangka berpikir karena adanya perbedaan pendidikan, wawasan dan mobilitas,
sedangkan dari segi persepsi disebapkan karena faktor budaya dalam bentuk stereotipe, etnosentrisme, nilai dan norma.
Adapun faktor bahasa karena perbedaan makna atas simbol-simbol bahasa yang
digunakan baik verbal maupun nonverbal. Terdapat hambatan budaya yang
dipengaruhi rasa ketidakpastian dalam berkomunikasi yang kemudian awalnya
menimbulkan rasa ketidaknyamana karena pertemuan dua budaya yang berbeda hal
ini sejalan dengan asumsi teori Kecemasan dan Ketidakpastian.
Strategi
manajemen konflik yang digunakan oleh pasangan-pasangan suami istri antara
etnis Jawa dengan Papua yang hidup rukun dan harmonis adalah win-win strategies, avoidance active fighting strategies dan force and talk strategies. Win-win
strategis (dalam berdilaog ,mencari solusi bersama), avoidance (menghindari masalah untuk tidak memperkeruh keadaan dan
menenangkan pikiran), force and talk
strategies (empati, simpati, support, trust, terbuka). Bagi pasangan suami
istri yang bercerai cenderung menggunakan
strategi konflik tidak produktif, yakni face detracing strategies ( merendahkan pasangan, tidak saling
percaya) dan verbal aggressiveness
(kekerasan verbal, makian, otoriter).
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied.
2012. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Dodd, Carley H.
1998. Dynamics of Intercultural Communication (Fifth Edition). USA : The
McGraw-Hill Companies, Inc
Gudykunts,
William B, Kim, Young Yun. (1984). Methods
For Interculture Communication Research, Sage Publication.
Liliweri. Alo.
2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Martin, Judith N., & Thomas
K.
Nakayama.
2007. Intercultural
Communication
in Contexts (Third Edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Moleong,
Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana,
Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosadakarya.
Mulyana, D dan
Rachmat, Jalauddin. 2006. (Editor) Komunikasi
Antar Budaya. Panduan berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,
Remaja. Bandung: Rosadakarya.
Puspowardhani,
Rulliyanti. 2008. Komunikasi Antar Budaya
Dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta. Tesis tidak
diterbitkan. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Rahardjo,
Turnomo.2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi
Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat,
Jalauddin. 2009. Psikologi Komunikasi.
Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.
Samovar. AL,
Porter ER dan Mcdaniel RE. 2010. Komunikasi
Lintas Budaya, Terjemahan oleh Indri Margaretha Sidabalok: Salemba Humanika
Sutopo.( 2002). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Verderber,
Rudolph F, dan Kathleen
S. Verderber.
1998. Inter-Act Using
Interpersonal
Communication Skill. California: Wadsworth
Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar